Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Saya Ingin Menjadi Jurnalis ?*

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh : FRA

Setiap orang hampir dapat dipastikan memiliki motif di balik setiap apa yang diinginkannya, motif di sini saya artikan sebagai “sebab timbulnya keinginan lahiriah dari sebuah tindakkan”. Walau saya sendiri tidak mempunyai pengalaman pribadi sebagai seseorang yang ditanya oleh orang lain ‘Mengapa ingin menjadi jurnalis?’, maka motif yang menjadikan saya ingin menjadi jurnalis adalah sebuah motivasi diri seperti motif yang dinisbatkan kepada para pendahulu, ulama, ustadz, da’i dan aktifis Islam, yaitu motif dakwah karena di dorong oleh suatu kesadaran niat. Mengkaji tentang sebuah niat mungkinlah sangat krusial, dalam hal ini, Rasullah bersabda “Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya dan bagi setiap orang memperoleh apa yang diniatinya, Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk meraih kesenangan dunia atau menikahi wanita maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrahi” {HR. Bukhari}

Jelas menjadi seorang jurnalis atau calon jurnalis muslim idealnya tidak memiliki motif lain dalam misi seorang jurnalis selain karena Allah “dakwah bil qolam”. Alquran menjelaskan “ Dan hendaklah ada diantara kalian, segolongan umat penyebar dakwah kepada kebajikan: yang tugasnya menyeru berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar. Itulah mereka yang beruntung” {QS.Ali Imran 104}. Di lihat dari landasan di atas, saya menyadari bahwa seoarang jurnalis merupakan pilihan profesi yang mulia, yang tidak bisa sembarangan orang mengemban profesi ini karena meramun beberapa modal dasar diantaranya intelektualitas, kepekaan, keberanian, dan kesabaran.

Dari sekelumit pembahasan di atas, saya teringat sewaktu saya menjadi mahasiswa, tatkala saya menginjak tahun akhir menjadi mahasiswa Universitas Bung Hatta pada tahun 2011 Saya sering berjumpa dan bercerita dengan salah seorang pendiri media cetak “Semangat” di Sumatera Barat bapak Sukma Jaya yang berusia 70 tahun. Pada tahun itu saya menemukan kejenuhan dalam studi saya, seiring meloncatnya financial hidup di kala itu saya berinisiatif ingin bekerja sambil kuliah guna mengisi waktu luang aktifitas saya sebagai mahasiswa akhir dan meringankan beban orang tua. Namun saya tak kunjung mendapatkan apa yang saya inginkan, rumitlah sudah sebuah pengharapan itu. Iseng-iseng saya menulis sebuah puisi dan cerpen pelepas asa yang mendurja. Saban hari puisi saya dimuat dan dibaca oleh bapak Sukma Jaya. Ketika saya duduk di salah satu kedai kopi depan kampus yang berada disebelah rumahnya, sembari saya minum kopi, ia pun mendekapi sambil menenteng koran yang telah dibacanya, dan ia duduk tepat disamping saya, Uda kedai pun menceletuk “Ayah ini yang namanya Fadhlur Rahman Ahsas, yang Ayah Tanya Patang (kemarin)”. Pendek cerita, ia memuji karya saya yang di muat tiap minggu di Koran Mingguan Garis, ia juga mengkoreksi hingga saya menanyakan tentang banyak hal terutama dalam dirinya semasa aktif hidup sebagai pemimpin media cetak lokal yang termasyhur pada masa itu, dan saya kagum dengan autobiograpinya, melahirkan momentum untuk ingin menjadi seorang jurnalis, sampai saya pun lolos interviu untuk menjadi jurnalis pemula di media cetak mingguan Wahana Media.

Pembelajaran demi pembelajaran ia tuaikan kepada saya tentang sebuah profesionalitas dan mecusuarnya nak menjadi jurnalis handal. Pernah saya berkeluh kesah atas perihal jalan kehidupan saya yang tidak pernah terniat untuk menjadi jurnalis kepadanya, lalu titian pun saya temui sewaktu menanyakan “apa bedanya seorang guru dengan wartawan/jurnalis ?”. Ungkapan itu muncul disebabkan kesamaan disiplinan ilmu yang kami miliki, pada bidang keguruan ilmu pendidikan. Dari kesamaan objek itulah ia menanyakan secuil pertanyaan, namun hal itu sedikit membuat saya kebingungan oleh pertanyaannya. Mungkin segelintir kita menganggap pertanyaan tadi gampang serta mudah di jawab, ternyata saya tidak bisa mejelaskan jawaban dengan bernas dan tepat. Sejenak ia malah mendiskripsikan kisah perjalan hidup seorang ulama, seorang guru, dan juga seorang yang penuh heroik pada dunia jurnalisme yaitu Buya Hamka beserta beberapa tokoh seangkatan dengannya, seperti Effendy Koesnar, Mursal Enstein, dan Rusli Marzuki Saria,mereka itu notabenenya dari seorang guru.

Maka runutan dari beberapa hikayah itu saya menemukan titik terang, bahwa guru dan wartawan/jurnalis tidaklah berbeda, bahkan kedua sub-profesi ini sama persisnya, yaitu mendidik. Tugas mendidik tidak hanya monopoli dari seorang guru saja, wartawan juga mengemban fungsi mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Bila seorang guru mendidik di ruang kelas, maka seorang jurnalis/wartawan mendidik masyarakat lewat tulisan-tulisanya yang disiarkan di media, dari itu pula seorang wartawan/jurnalis juga turut berperan aktif dalam pembentukan dan perkembangan kognisi masyarakat. Melaksanakan fungsi edukasi, motivasi dan menguburbenamkan dari suatu peradaban jahiliyah,“terjangkau yang tak terjangkau” atau “dari yang tidak tahu menjadi tahu”.
Lebih bernasnya ketika saya menanyakan, sisi apa yang membuat tokoh di atas menekuni profesi menjadi seorang jurnalis. Kemuadian ia mengeluarkan falsafah hidup “carilah pekerjaan yang kamu cintai, dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang hayat” dari sepenggal pohon falsafah itu, melahirkan ranting dari pituah orang Minangkabau “ Jauah bajalan banyak diliek, lamo hiduik, banyak taraso” (jauh berjalan, banyak yang kita lihat, lama hidup banyak yang dirasakan).

Di sini saya banyak menyimak dan merekam bahwa hidup adalah pilihan, namun pilihan jika dikaitkan dengan mengapa ingin menjadi jurnalis ?, maka saya menafsirkan bahwa jurnalis adalah pekerjaan yang menjadi sebuah pilihan hidup dan juga menyangkut sebuah kecintaan seseorang pada dunia tulis menulis. Jika dikaji secara universal jurnalis adalah profesi yang memiliki ragam warna di tinjau dari segala aspek kehidupan, sesuai dengan pituah Minangkabau di atas. Mungkin ada kanti “kawan” kita ahli sejarah yang banyak tahu tentang zaman dahulu, tapi hampir tidak tahu tentang zaman sekarang. Ada kanti kita yang ahli ini-itu, yang banyak tahu tentang hukum alam tetapi hampir tidak tahu hukum adat. Ada lagi kanti seniman yang pandai mencerita seorang raja, tetapi tidak pandai mencerita kaum imperialis dan tuan tanah. Sejujurnya jurnalisme sangat dekat dengan kehidupan dan sangat luas, dengan seluas samudera, sangat tinggi dengan setinggi langit.

Sungguh di balik motif keinginan itu mempunyai niat yang ikhlas, jadi sebarapa besar keinsyafan seseorang sebesar itu pula keikhlasannya. Seorang ingin menjadi apa dan untuk apa mereka dalam dunia jurnalis ini, semua ulasan di atas telah menjawab apa yang membuat saya memilih untuk menjadi seorang jurnalis karena cinta, cinta akan dunia tulis menulis, bermanfaat bagi untuk semua, dan saya ingin mengajar dunia dengan pena, bahkan, di sekitar kita dikelilingi oleh orang-orang hebat, maka jadilah orang yang hebat pula. Pungkasnya, ibarat kata mutiara dari dunia yang pernah mendidik saya di Pondok Modren Gontor “ andai kata muridku tinggal satu, yang satu itu sama dengan seribu, jika yang satu pun itu tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena” KH. Imam Zarkasyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline