Lihat ke Halaman Asli

Fadhil Nugroho Adi

Penulis Paruh Waktu

Mengejawantahkan Puasa

Diperbarui: 1 April 2023   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudah berapa lama kita berpuasa?

Setahun terakhirkah?
Sepuluh tahun terakhir?
Atau malah baru hari kemarin?

Apa yang mendasari kita untuk berpuasa?

Dorongan dari dalam diri?
Atau semata mengikuti norma dan tradisi, agar dibilang tidak membangkang?

Ya, apapun itu, berpuasa adalah sarana yang penting dijalankan bagi setiap diri yang berusaha mengejawantahkan "siapa aku". Sebab sejatinya berpuasa adalah mengekang, atau menahan semua keinginan diri yang terlalu jauh lepas kendali. Maklum, manusia kadang terlalu jumawa dengan akal dan pikiran yang berkuasa. Untuk itulah mengapa puasa menjadi momentum sakral untuk mengembalikan diri sesuai dengan kodrat penciptaannya.

Ada sebuah cerita dari orang-orang yang berpuasa. Konon katanya, menjaga lapar dan haus sudah biasa. Tapi tak kalah beratnya adalah menahan nafsu yang sering muncul tanpa disengaja. Atau, ada orang yang siang harinya berpuasa, namun malamnya asyik bersantap arak dengan riang sampai asyik mengoyak ranjang. 

Apakah untuk mereka ini, esensi puasa masih bisa dicapai? Bisa saja iya, dan bisa saja tidak. Masing-masing punya pemaknaan yang khas atas setiap perbuatan yang dilakukan. Jika puasa itu berhasil, minimal, si pelaku merasakan penyesalan yang cukup dalam. Namun jika setengah berhasil, minimal dia bisa meredam syahwatnya dalam waktu yang sudah ditentukan, dan tentu itu tak mudah bagi si pelaku.

Dalam skala masyarakat yang lebih luas lagi, ada yang punya larangan membuka tempat makan pada siang hari selama bulan puasa. Tujuannya, untuk menghormati mereka yang menjalankan puasa. Ide ini pada permukaannya terlihat bagus. 

Namun kalau diajukan pertanyaan seperti ini kepada 10 saja orang yang biasa berpuasa: "Apakah warung yang tetap buka di siang hari akan berpengaruh pada kekhusyukan puasa?" Saya cukup yakin, 9 dari 10 orang pasti akan menjawab: tidak. Mengapa? Karena sebagaimana termaktub di awal tulisan ini, puasa adalah momentum untuk menguji, seberapa besar komitmen seseorang dalam menjaga dirinya dari segala macam nafsu yang bisa mengganggu pemurnian dirinya.

Dari sisi medis, sudah tak terhitung nampaknya, riset yang menjelaskan soal manfaat puasa bagi kesehatan. Saya tak ingin ambil pusing soal ini. Tentu saya bersyukur jika puasa membantu menyeimbangkan elemen-elemen dalam tubuh. 

Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah bagaimana puasa berkemampuan menyelaraskan batin. Puasa adalah lelaku batiniah. Semakin mampu seseorang mempuasakan diri, semakin tinggi pula spiritualitas seseorang itu. Arjuna teruji mencapai puncak spiritual saat berhasil mempuasakan dirinya di Indrakila. Ia Mintaraga. Mengasingkan diri. Memisahkan diri dari badan kasar. Ia Ciptaning. Berusaha sekuatnya untuk mencapai batin dan pikiran yang wening.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline