Tertangkapnya sindikat penyebar kebencian bernuansa SARA, Saracen, cukup mengagetkan banyak pihak. Bagaimana tidak, tarif yang mereka tetapkan untuk menabur kebencian dan permusuhan di antara warga negara Indonesia, terbilang fantastis. Setidaknya 72 juta rupiah dipatok sebagai tarif per paket ujaran kebencian berbau SARA. Biaya ini meliputi biaya pembuatan situs sebesar Rp 15 juta dan membayar sekitar 15 buzzer sebesar Rp 45 juta per bulan.
Yang mengherankan, ada saja pihak-pihak yang menyewa jasa mereka dan ingin melihat anak-anak bangsa berpecahbelah. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin seseorang menikmati perpecahan di atas tanah tumpah darahnya sendiri?
Terlepas dari motif-motif pelaku, pengungkapan kasus Saracen ini juga membutuhkan pendekatan secara psikologis. Jangan sampai kasus ujaran kebencian dan SARA berhenti di Saracen, sementara bibit-bibit dan kader-kadernya masih leluasa di luaran sana.
Para pelaku perundungan (bullying), misalnya. Bila dipahami dari kacamata psikologi, orang yang menjadi pelaku bullying kemungkinan mengalami penyakit mental seperti depresi, anxiety disorders (rasa cemas yang besar dan berlebihan), dan ADD (Attention Deficit Disorder atau penyakit susah berkonsentrasi, tidak dapat duduk diam, sering menganggu percakapan tanpa dipikirkan lebih dulu, dan impulsif). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa 30% anak dengan penyakit mental melakukan bullying terhadap anak-anak lainnya dan lebih dari 30% anak yang melakukan bullying mengalami penyakit mental.
Sementara menurut penelitian yang dilakukan oleh Douglas Gentile dan Brad Bushman dalam Psychology of Popular Media Culture, ada enam faktor yang bisa menyebabkan anak menjadi seorang pengganggu atau melakukan bullying pada temannya. Dua di antaranya adalah ekspos kekerasan dari media (khususnya film dan video game) dan kecenderungan permusuhan yang menimbulkan dendam dan keinginan membalasnya.
Untuk itu ada baiknya mereka yang bekerja di balik Saracen ini turut diperika secara kejiwaan. Saya akui, saya bukan seorang psikolog. Namun dari berbagai artikel yang saya baca, sepertinya ada beberapa penyakit atau kelainan jiwa yang kemungkinan membuat mereka tetap nyaman bahkan senang melihat permusuhan antarwarganya. Yang penting, agenda permusuhan lunas. Berapapun tarifnya oke saja.
1. Antisosial Personality Disorder
Antisosial Personality Disorder merupakan gangguan kepribadian antisosial. Gangguan jiwa ini juga sering disebut sebagai sociopathy. Individu dengan Antisosial Personality Disorder sering kurang empati dan cenderung tidak berperasaan, sinis, dan menghina perasaan, hak, dan penderitaan orang lain. Jika berkaca dari kasus Saracen, bisa jadi orang dengan gangguan ini-lah yang selama ini menjadi "pelanggan tetap" Saracen. Patut diduga, eksekutornya menderita gangguan jiwa yang sama.
Ciri-ciri umum penderita :
1. Kegagalan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berkaitan dengan perilaku yang sah seperti yang ditunjukkan oleh berulang kali melakukan tindakan yang dasar untuk penangkapan
2. Tipu daya , seperti ditunjukkan oleh berulang berbohong, penggunaan alias, atau menipu orang lain untuk keuntungan pribadi atau kesenangan
3. Impulsif atau kegagalan untuk merencanakan ke depan
4. Lekas marah dan agresivitas , seperti yang ditunjukkan oleh perkelahian fisik berulang atau serangan
5. Mengabaikan keselamatan diri sendiri atau orang lain
6. Konsisten tidak bertanggung jawab , seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan berulang untuk mempertahankan perilaku kerja yang konsisten atau menghormati kewajiban keuangan
7. Kurangnya penyesalan , seperti ditunjukkan oleh acuh tak acuh atau rasionalisasi.
2. Psikopat
Psikopat berasal dari kata psyche (jiwa) dan pathosi (penyakit). Secara harfiah, psikopat berarti sakit jiwa. Namun, psikopat tak sama dengan kegilaan (skizofrenia/psikosis), sebab seorang psikopat umunya disebut "Sosiopat", karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekat tanpa empati sedikitpun. Parahnya dan yang lebih membuat ini menakutkan adalah bahwa seorang psikopat sadar betul apa yang telah ia perbuat dan ia sama sekali tak memiliki rasa menyesal.