Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Menteri yang biasa dipanggil Gus Yaqut ini mengatakan berdirinya Kementerian Agama (Kemenag) merupakan hadiah negara untuk Nadhlatul Ulama (NU), bukan umat Islam.
"Ada yang mengatakan Kementerian Agama itu hadiah Negara untuk Umat Islam. Saya bantah, bukan! Kementerian Agama itu hadiah Negara untuk NU. Bukan untuk Umat Islam secara umum, tapi spesifik untuk NU. Jadi wajar, kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang yang ada di Kementerian Agama karena memang hadiah untuk NU," kata Yaqut.
Namun dikutip dari laman resmi Kementerian Agama, berdirinya Kemenag ternyata usulan dari seorang Tokoh Muhammadiyah.
Bahkan Menteri Agama pertama adalah seorang Muhammadiyah yang bernama Haji Mohammad Rasjid.
Menurut Haji Muhammad Rasjid dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan, berdirinya Kemenag adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Kalau melihat perjalanan Kemenang sepertinya Menteri Agama yang sekarang (Yaqut Cholil Qoumas) sepertinya tidak tahu dengan perjalanan sejarah Kemenang.
Bagaimana beliau bisa mengatakan Kemenang berdiri sebagai hadiah untuk Nahdatul Ulama, sedang pengusul berdirinya Kemenag adalah dari Muhammadiyah. Menteri Agama pertamapun dari Muhammadiyah. Sepertinya Gus Yaqut harus baca sejarah dulu, kalau mau bicara, supaya omongannya tidak menimbulkan kontroversial.
Tidak kali ini saja Yaqut Cholil Qoumas membuat kontroversi, menggeser hari besar Islam, mengucapkan Selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB kepada umat Baha'i, tidak melarang buka Masjid tapi melarang ibadah berjemaah dan pernyataan kontroversi lainnya.
Sementara itu Ketua Umum Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir merespon pernyataan Menteri Agama (Menag) dengan menyindir Gus Yaqut belum Akil Baliq.
"Masih saja ada yang belum beranjak akil-balig dalam berbangsa dan bernegara. Semisal elite negeri yang menyatakan suatu Kementerian Negara lahir diperuntukkan golongan tertentu dan karenanya layak dikuasai oleh kelompoknya. Suatu narasi radikal yang menunjukkan rendahnya penghayatan keindonesiaan," kata Haedar Nashir dikutip laman resmi Muhammadiyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H