Presiden Joko Widodo baru-baru ini menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Tugas komite ini adalah menyepakati atau menetapkan langkah yang perlu diambil untuk mengatasi bagian kewajiban perusahaan patungan dalam hal terjadi masalah kenaikan atau perubahan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat antara Jakarta dan Bandung.
Kita sebagai masyarakat biasa tenang-tenang saja karena Presiden Joko Widodo berulang-ulang menegaskan proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung memakai sistem Business to Bussines tidak ada memakai Government to Governmen. Jadi menurut bapak Presiden negara tidak dirugikan.
Tetapi sekarang beliau mengatakan penggunaan APBN berarti tidak business to business lagi tapi sudah memakai Governmen to Gobernmen.
Bahkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini telah mengabaikan AMDALdan keluhan masyarakat setempat yang dilalui Kereta Cepat itu
Sesungguhnya awalnya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung studi kelayakan dibuat pihak Jepang dengan anggaran 6,2 miliar dolar Amerika Serikat.
Pihak Jepang juga menambahkan Proyek ini tidak layak.
Kemudian datang studi dari China yang mengatakan proyek ini layak. Pihak China menganggarkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung hanya sebesar 5,5 miliar dolar Amerika Serikat, tatapi kemudian membengkak menjadi 8,6 Miliar dolar atau sekitar 12 triliun rupiah ( lebih mahal dari Jepang).
Di daerah asalnya Proyek Kereta Cepat ini selalu merugi.
Seperti di Jepang dan China, makanya Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa tidak mau dengan proyek Kereta Cepat ini.