Lihat ke Halaman Asli

Fadhil Akbar

Mahasiswa UIN Jakarta

Aliran Mu'tazilah dan Perkembangannya

Diperbarui: 2 Januari 2024   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perlu kalian ketahui, Mu'tazilah adalah sebuah aliran teologis dan filsafat Islam yang muncul pada abad ke-8 Masehi. Aliran ini memiliki pandangan teologis yang bercorak rasionalis dan liberal. Mu'tazilah memiliki banyak nama atau sebutan. Hal tersebut dikarenakan oleh banyaknya penduduk asing maupun penduduk Mu'tazilah itu sendiri yang memberikan pendapat terkait nama Mu'tazilah. Seperti contoh, Penduduk Ahlusunnah Waljamaah menyebut kaum Mu'tazilah sebagai manusia Mu'attilah, yaitu adalah kelompok yang mengingkari hakikat Tuhan. Adapun yang menjuluki sebagai Al-Qadariyah, karena mereka mempercayai bahwa perjanjian manusia memiliki kehendak bebas dalam bertindak. Namun, dengan adanya banyak sebutan tersebut, kaum Mu'tazilah sebenarnya menyebut dirinya sebagai Ahl al-adl wa al-tawhid, seperti yang telah disebutkan oleh As-Sahrastani.

Kelompok Mu'tazilah awalnya muncul di kota Basra, Iraq, pada abad ke-2 Hijriyah, yaitu sekitar tahun 105 H sampai tahun 110 H. Munculnya aliran ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat antara Washil bin Atha dan Al-Hasan Al-Bashri terkait status iman orang yang melakukan dosa besar. Washil bin Atha berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan termasuk mukmin, namun juga bukan kafir. Melainkan fasik. 

Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun, Mu'tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Dengan adanya kebijakan seperti itu, tentu membuat kaum Mu'tazilah lebih leluasa dalam menyebarkan paham-pahamnya kepada publik. Penyebaran paham tersebut mereka lakukan dimulai dengan cara yang lemah lembut, hingga dengan cara yang keras. 

Kaum Mu'tazilah memegang keyakinan bahwa Al-Quran adalah makhluk ciptaan Allah, bukanlah kalam-Nya yang abadi. Pemikiran ini tentu sangat bertentangan dengan pandangan mayoritas kaum Sunni pada saat itu, yang dimana mereka meyakini bahwa Al-Quran adalah kalam Allah yang tidak diciptakan. Karena adanya perbedaan pandangan inilah terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi juga ada kaitannya dengan Mu'tazilah yang dijadikan sebagai mazhab resmi negara. 

Dengan dijadikannya Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, mau tidak mau setiap penduduk harus mengikuti dan taat terhadap ajaran Mu'tazilah. Bagi penduduk yang tidak mau mengakui paham bahwa Al-Quran adalah makhluk dan bukan kalam-Nya yang abadi, akan diberikan ancaman dan hukuman oleh pemerintah. Hukuman yang diberikan tersebut bukan hanya hukuman ringan, tetapi juga hukuman mati. 

Walaupun aliran ini tercatat telah lenyap pada saat munculnya aliran Asy'ariyah, namun di zaman modern ini pengaruh dari adanya Mu'tazilah ini tetap ada. Meski tidak memiliki eksistensi pengaruh secara besar-besaran, pemikiran Mu'tazilah masih digunakan oleh beberapa intelek Muslim dalam kerangka diskusi teologis. Terlebih, pemikiran Mu'tazilah yang menekankan tentang kebebasan manusia dan akal sebagai alat untuk memahami agama. Pemikiran tersebut dapat menjadi relevan dalam konteks masyarakat modern yang semakin peduli terhadap kebebasan berpikir dan pluralisme.

Fadhil Akbar Fajar Rahmani - 11220511000129

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline