Lihat ke Halaman Asli

Donald Trump, Shamsi Ali, Dan Pilpres Paling Laknat.

Diperbarui: 8 September 2015   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari judul, sudah jelas. Tulisan ini terinspirasi soal pejabat Indonesia yang 'kepergok' selfie di salah satu agenda kampanye Donald Trump.

Seperti biasa, sebuah kejadian yang melibatkan beberapa pejabat entah itu dari kubu KMP, atau kubu KIH, akan langsung disambar dan dijadikan amunisi perdebatan.

Terbukti setelah kritikan tajam menerjang dua pejabat dari kubu KMP, tak lama muncul juga berita yang menunjukkan bahwa orang KIH ada hadir dalam kegiatan Trump.

Yang menarik bagi saya adalah ketika Shamsi Ali, seorang ustadz dan penggiat keislaman di Amerika urun komentar. Komentar yang menegur pejabat Indonesia, karena dianggap terlibat kampanye Trump dan pada satu bagian merendahkan martabat bangsa -- yang bagian merendahkan ini sebenarnya lebih disebabkan sikap Trump yang terkesan tidak menghargai -- komentar itu juga lekat dengan keberadaan Shamsi Ali yang notabene dekat dengan aktivis keislaman.

Mendadak tadi pagi saya menemukan beberapa teman menshare sebuah postingan yang intinya mendiskreditkan Shamsi Ali, salah satunya karena ternyata pernah berfoto dengan D. Trump.

Tiba-tiba saya teringat ucapan seorang teman di facebook. Pilpres kemarin adalah pilpres paling laknat dalam sejarah Indonesia. Dan saya sepakat. Pilpres paling buruk dan merusak bangsa. Gegara pilpres itu bangsa ini terpecah menjadi dua kelompok yang saling cela, saling serang, dan celakanya semua dilakukan dengan nyaris mendekati membabi buta. Mengesampingkan logika, dan pemahaman.

Contoh kasus adalah 'kritikan' Shamsi Ali terhadap pejabat Indonesia, yg hadir dalam kegiatan Trump. Kritikan yang sebenarnya tidak salah. Berbeda dengan kita yang masih belajar berpolitik, politik di negara seperti Amerika, Inggris, adalah permainan politik dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Bahkan sekedar minum kopinya seorang kandidat di sebuah gerai waralaba, bisa menjadi strategi politik. apalagi bila yang hadir adalah pejabat dari sebuah negara. Tak soal besar kecil, atau kuat lemahnya negara itu. Kehadiran pejabat sebuah negara tentu akan terkesan meberikan dukungan pada si kandidat itu.

Tak butuh waktu lama, seseorang mulai menggali, mungkin gerah pada Shamsi Ali, dan menemukan foto Shamsi Ali (juga beberapa orang lainnya) berfoto dengan Trump. Lalu mulailah istilah kecebong dilekatkan, dan kita tahu istilah itu muncul sebagai olok-olok untuk kelompok pendukung salah satu kubu di politik Indonesia.

Padahal kalau mau membuat 'analisa' kecil, kita akan tahu betapa konyol semua ini. 

Konyol, karena apa yang disampaikan Syamsi Ali itu sebenarnya tak salah. Konyol karena ini bukan soal pejabat dari kubu KMP atau KIH, tapi soal tindakan si pejabat, yang memang sebenarnya secara moral politis tidak tepat. Konyol, karena Trump adalah 'figur publik' di Amerika, dan wajar saja Syamsi Ali, atau orang lainnya dalam sebuah even berfoto dgn Trump (apalagi Syamsi Ali adalah aktivis komunitas muslim di New York). 

Kita sendiri pernah berfoto dengan, misalnya; artis, menteri, penulis, atau motivator. Dan tentunya kapasitas seseorang akan mempengaruhi efek dari satu hal seperti berfoto ini. Tentu beda kalau yang berfoto adalah seorang bintang film dengan Trump, atau kalau yang berfoto dengan Trump itu hanya saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline