Beberapa waktu kemarin, jagad media sosial dipenuhi dengan beberapa topik khas. Salah satunya adalah Jokowi vs Erdogan. Sumbernya sebenarnya sederhana, membandingkan antara pak Jokowi dengan segala kondisi 'nyantai' dan pak Erdogan yang sedang menjadi salah satu nama besar di pentas politik dunia.
Mulailah saling cela terjadi. Dari mencela gaya jalan pak Jokowi, tindakan menghormat yang dinilai konyol, cengiran khasnya yang dianggap tak berwibawa. Disisi lain para pendukung pak Jokowi mencela dan mengungkit berbagai hal dari pak Erdogan. Dari dianggap tidak sopan mendahului tuan rumah, angkuh, sampai ke masalah dalam negeri Turki.
Semakin memperkeruh suasana adalah kelompok kompor. Yang sebenarnya adalah orang-orang dengan agenda mereka sendiri. Tapi dengan suka cita menjadi provokator yang mengadu antara dua kelompok lainnya.
Saya dimana?
Dengan berat hati, saya harus mengatakan saya berada pada posisi yang serba salah.
Saya mendamba seperti banyak orang lain. Pak Jokowi bisa mencitrakan dirinya seperti citra yang ditampilkan Erdogan. Berwibawa, penuh percaya diri, bahkan kalau perlu angkuh sedikit. Terutama dalam acara-acara kenegaraan dan internasional. Rasanya jadi bengong sendiri melihat gaya pak Jokowi yang sering tidak sesuai dengan tempat dan agenda.
Melihat gaya beliau, saya jadi bertanya kemana tim yang mengurusi presiden. Karena setahu saya setingkat istri bupati saja, ada sekolah kepribadian yang harus diikuti. Ada yang mengurusi gayanya karena dia adalah representasi kabupaten, harga diri pak Bupati dan warga. Apalagi ini sekaliber Presiden sebuah negara. Yang bahasa verbal non verbalnya adalah suara bangsa.
Saya kecewa dengan banyak kebijakan pemerintahan pak Jokowi. Bahkan tak jarang saya bertanya-tanya, apakah ada wabah yang melingkupi istana negara. Karena dengan sangat aneh, banyak mereka yang cerdas berwawasan, mendadak seperti lupa dengan ilmu dan segala pengalaman mereka ketika lama berada di Istana. Bahkan dengan sangat mengejutkan, baru kali ini begitu seringnya pemerintah sangat berbeda pendapat dengan rakyatnya.
Tapi walaupun sejarah mencatat saya termasuk bukan pemilih pak Jokowi saat pilpres, karena pada saat itu saya sama seperti sebagian besar rakyat Indonesia, mencoba memilih (yang adalah hak asasi rakyat manapun), selepas pilpres hasiilnya adalah pak Jokowi-lah presiden saya.
Apapun pilihannya. Hasil pilpres adalah hasil untuk seluruh rakyat. Itu hal yang sering dilupakan. Berbeda pilihan dalam pilpres itu sama wajarnya dengan memiliki hidung yang lubangnya dua dan mengarah ke bawah. Setelah penghitungan suara, disahkan secara hukum. Itulah kenyataannya.
Dan karena ini bukan kontes idola populer. Siapapun pemenangnya punya beban amanah yang sama, hak yang sama , kewajiban yang sama. Dan rakyat, seperti saya, seperti apapun mendambanya memiliki presiden impian seperti siapa, entah itu Erdogan, atau mungkin seperti mantan presiden Uruguay Jose Alberto Mujica Cordano, atau bahkan seperti Umar ibn Khattab. Maka kenyataan yang tak bisa ditolak, bahwa apapun kondisinya Joko Widodo adalah presiden Indonesia.