Dinegeri mimpi, pendidikan itu indah. Sekolah dari Taman Kanak-kanak, hingga jenjang Putih Abu-abu itu gratis. Sekolah-sekolah sama rata dalam kualitas. Dari ujung barat negeri hingga pelosok di timur jauh disana. Sayangnya itu di Negeri Mimpi. Dinegeriku yg bernama Indonesia, bukan Endonesia seperti sering pejabatnya menyebut, pendidikan itu barang mahal. Program menara penebar mimpi indah memang sering diluncurkan, semisal Dana ini dan itu, pun program pamungkas maha kelihatan seolah baik berjudul Wajib Belajar 9 Tahun. Kenyataannya Wajib Belajar jadi terkesan aneh. 9 Thn dihitung dari SD s.d SMU(atau SMA ? terlalu sering berganti nama, hingga lupa). Tapi memasuki jenjang SD hal pertamanya adalah pertarungan para orang tua untuk meraih sehelai kertas bernama formulir. Dikisahkan oleh banyak orang tua, tentang mengantri digerbang yg masih terkunci sejak jam 6 pagi, namun formulir telah habis sebelum gerbang dibuka. Kita kesampingkan dulu SMP atau SMU, masih jauh itu. Karena bila tak masuk SD maka mustahil jenjang selanjutnya diraih. Tidak berniat membahas tentang dana ini dan itu ditulisan ini. Hanya mempertanyakan pada para cerdik cendekia yang digaji mahal untuk merancang pendidikan dinegeri ini, yang sering tampil di televisi dan menyarankan berbagai saran cerdas, yang berpakaian mahal dan menulis banyak buku ataupun kolom koran. Pertanyaannya sederhana saja. Bagaimana caranya mewujudkan Wajib Belajar, bila masuk SD saja sulit. Bahkan diterapkan pula ujian? Bukankah dengan menempatkan wajib, maka jenjang SD s.d SMU adalah area bebas. Wajib gitchuu loh Bila tak salah mengingat, dulu suatu ketika di masa kementrian sebelumnya, pernah diterapkan sistem Rayon. Anak usia sekolah, secara otamatis akan memasuki sekolah yg berada dalam area domisilinya. tidak ada istilah 'bayar mahal' untuk sekolah 'mewah'. Sederhana namun efektif dalam mendistribusikan siswa dengan beragam tingkatan kemampuan. Sangat efektif untuk menjamin tak ada penumpukan 'siswa unggul' disekolah tertentu saja, sehingga semua sekolah berkembang dan berkompetisi secara setara. Kualitas guru pun akan berkembang sesuai tuntutan kebutuhan. Wajib Belajar menjadi masuk akal. Namun beginilah, ketika kekuasaan ditempatkan pada kepentingan jangka pendek saja, karena toh paling banyak hanya dua kali bisa menjabat pemimpin. Karena loyalitas pada partai lebih utama dari pada para rakyat, yang hanya dianggap penting saat menjelang pemilu. Karena para pejabat begitu yakin pada semboyan 'Mengutamakan Kesejahteraan Anggota'. Mungkin masih lama kepentingan rakyat akan diperhatikan. Saya marah ketika menuliskan ini, namun tak pernah putus harapan pada bangsa kita. Yang pernah besar dan diakui dunia. Negara yang berani pernah 'mencabut' keanggotaan dari PBB. Karena bila pernah, maka satu ketika akan kembali terwujud nyata. Bangsa ini masih punya banyak orang-orang yang berjuang untuk bangsa, untuk rakyat. Memang sulit, karena bertabrakan dengan kepentingan, namun mereka ada. Dan masih berjuang untuk itu. Satu hari nanti, pendidikan di Negeri Mimpi akan menjadi nyata. Sehingga dengan bangga kita akan mengatakan pada dunia tentang betapa berhasilnya Pendidikan di Negeri Bukan Mimpi ini. [caption id="attachment_112029" align="alignnone" width="500" caption="sumber foto: blog.ugm.ac.id"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H