Lihat ke Halaman Asli

Internship Dokter: Sebuah Tulisan Berisi Masukan

Diperbarui: 4 April 2017   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjuangan untuk menjadi seorang dokter semakin bertambah lama semenjak adanya Program Internsip Dokter Indonesia. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan suatu program lanjutan yang harus ditempuh oleh seorang lulusan fakultas kedokteran untuk dapat memiliki Sertifikat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang merupakan syarat untuk melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Saya akan mulai artikel ini dengan kisah seorang dokter bernama Budi.

Setelah lepas dari masa co-ass, Budi haruslah mempersiapkan diri untuk menghadapi Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Setelah dinyatakan lulus UKDI, Budi pun diambil sumpahnya sebagai seorang dokter dan mendapat ijazah. Kemudian Budi harus menugurus sertifikat kompetensi pada Kolegium Dokter Primer Indonesia (KDPI). Tidak berhenti disana, Budi harus mengurus Sertifikat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik. Setelah letih mengurus berbagai urusan surat-menyurat, perjuangan Budi belum berhenti karena STR dan SIP yang baru diterima budi hanya sementara dan Budi harus mengikuti Program Internsip terlebih dahulu untuk mendapatkan SIP dan STR yang sebenarnya. Ya, begitulah cerita seorang Budi, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang masuknya susah, keluarnya lebih susah lagi.

 

Namun apa sebenarnya PIDI?

Menurut Permenkes No. 299 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip, “Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan”.

Tujuan umum dari program ini kemudian dijelaskan di dalam buku Panduan Pelaksanaan Internsip Dokter Indonesia yaitu memberikan kesempatan kepada dokter yang baru lulus pendidikan kedokteran untuk memakhirkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan ke dalam pelayanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. Internsip merupakan sarana yang sangat mendukung kemampuan praktik dokter yang baru lulus. Seorang dokter yang baru lulus pada masa coass-nya tidak boleh melakukan hands on dalam pendidikan karena menurut UU Praktik Kedokteran, hanya dokter berizin yang boleh melakukan tindakan kedokteran. Tidak bolehnya coass melakukan hands on ini menjadi dasar diwajibkannya internsip yang tercantum dalam UU Pendidikan Dokter.

Pelaksanaan PIDI ini mulai dilaksanakan pada tahun 2010 dan terus berlangsung hingga saat ini. Pelaksanaan PIDI ini dilakukan pada berbagai wahana pelayanan kedokteran baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta yang telah memenuhi syarat sebagai wahana pelaksanaan PIDI. Wahana kesehatan yang dapat dijadikan sebagai wahana pelaksanaan PIDI antara lain rumah sakit, Puskesmas, dan wahana kesehatan tingkat primer lainnya. Adapun syarat sebagai wahana internsip diatur lebih lanjut oleh Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI).

Dalam pelaksanaan hariannya, seorang dokter internsip didampingi oleh seorang dokter pendamping. Dokter pendamping merupakan seorang dokter yang bertugas untuk mengawasi dan mengevaluasi para dokter internsip. Tidak hanya itu, seorang dokter pendamping juga merupakan mentor, tempat berkonsultasi, dan sebagai pemberi umpan balik yang bertujuan untuk membantu dokter internsip mencapai tujuan internsip itu sendiri. Pentingnya peranan seorang dokter pendamping membuat tidak semua dokter dapat menjadi seorang dokter pendamping. Seorang dokter pendamping haruslah aktif dalam kegiatan praktik minimal dua tahun serta memahami dan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga dan prinsip pelaksanaan praktik kedokteran yang baik.

Para dokter internsip tidak hanya dibekali dengan itu saja, dokter internsip juga kini diberikan berbagai hak antara lain hak untuk menerima bantuan biaya hidup (BBH) sebesar Rp 2,5 juta/ bulannya, hak untuk mendapatkan pembiayaan transportasi menuju maupun pulang dari tempat internsip, hak untuk mengajukan izin dari internsip, dan hak untuk menerima insentif dari pemerintah daerah / wahana tempat internsip sesuai dengan kemampuan daerah tersebut.

Permasalahan dalam pelaksanaan PIDI

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa pada dasarnya adanya program internsip ini sangat meningkatkan kemampuan dan kemandirian dari dokter internsip dalam berhubungan langsung dalam masyarakat. Akan tetapi seperti berbagai program lainnya, aktualisasi program internsip tidak semulus dan masih menuai banyak kritik dari berbagai golongan. Pada tahun 2015 misalnya, masalah mengenai internsip muncul di berbagai sosial media dan media masa, mulai dari masalah lamanya waktu tunggu internsip hingga kisah memilukan seorang dokter internsip yang meninggal dunia karena tidak adanya biaya evakuasi dari tempat internsip. Evakuasi pun tidak bisa dilakukan dengan biaya sendiri karena BBH yang diterima seorang dokter internsip hanya Rp 2.5 juta/ bulannya. Beberapa masalah yang sering dikeluhkan antara lain : 

1.    Masalah Biaya Bantuan Hidup (BBH)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline