Memaafkan (forgiveness) merupakan langkah ajaib yang dimiliki manusia untuk keyakinan dan pandangan masa depan yang lebih cerah. Alih-alih terjebak dalam siklus emosi negatif -> rumination cycle, riset-riset mengenai konsep forgiveness telah memperlihatkan adanya perubahan signifikan seseorang dari attitude-nya, perasaan positif yang sangat kuat, aktivitas otak depan dan asosiasi memori lebih unggul, otot, serta detak jantung lebih rileks 'berirama' terhadap agresor dan kejadian tertentu. Apakah mungkin orang-orang pemaaf memang dekat dengan Yang Maha Pengasih?
Belum lagi kita melihatnya dari perspektif lain: sisi transcendence, perspektif agama, iman, dan spritual akan manfaat dari tingkah laku memaafkan (forgiveness). Adapun pada kesempatan ini, penulis berusaha menulis terkait dinamika tipe pemaafan dari sisi Ilmu psikologi khususnya belakangan ini. Forgiveness sendiri memiliki banyak definisi oleh para ahli karena konteks yang luas. Dapat berupa proses, jenis yang membuatnya berbeda, hingga apakah itu fenomena hubungan interpersonal (sosial) atau intrapersonal (dalam diri).
Salah satu teori yang menarik, Baumeister dkk mendefinisikan forgiveness sebagai sesuatu yang setidaknya terdiri dari dua hal: (1) Intrapsychic state, dan (2) Interpersonal Act. Dimensi intrapsychic state mengacu pada tidak lagi menyimpan dendam atau merenungkan peristiwa yang menyakitkan. Dimensi interpesonal act menyiratkan ketersediaan untuk menunjukkan kasih sayang dan empati kepada pelaku. Sehingga ada dua jenis forgiveness:
Hollow Forgiveness -> Intrapsychic state tidak ada, interpersonal act ada. Hollow forgiveness menunjukkan perilaku pemaafan berbentuk kasih sayang dan empati ke pelaku, namun tanpa bentuk perasaan memaafkan dari dalam diri/intrapsychic state. berarti orang yang disakiti belum dapat merasakan dan menghayati adanya pemaafan didalam dirinya. Kadang diperlukan insight serta pemahaman baru dalam diri orang yang disakiti untuk memaafkan.
True Forgiveness -> Intrapsychic state ada, interpersonal act ada. True forgiveness menunjukkan perilaku pemaafan ke orang lain dan merasakan rasa maaf tersebut dalam diri. Langkah ini membuat hubungan sosial terjalin lagi dengan memaafkan. Lalu seseorang letting go afek negatif yang memungkinkan seseorang lebih rileks (bersyukur) dalam kesehariannya.
Sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan nampaknya tidak mudah untuk mencapai true forgiveness. Sebagai variable, tiap orang juga cenderung memiliki penghayatan memaafkan yang berbeda-beda. Bagaimana mencapai forgiveness yang lebih baik? Ini bisa dilihat dari teori forgiveness yang lebih ke prosesnya. Salah satunya dari Worthington melihat bahwasanya memaafkan perlu:
- Insight dan pemahaman baru. Dengan mengubah pandangan seseorang terhadap suatu situasi, berpikir secara berbeda tentang orang tersebut, atau memahami makna situasi yang berbeda akan menghasilkan emosi dan perilaku yang berbeda. Forgiveness kadang muncul ketika keluar dari kebiasaan yang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan lama. Namun, terkadang, memaafkan diluan baru insight dan pemahaman baru yang datang kemudian. Sehingga ada celah untuk senantiasa belajar untuk pribadi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H