Penulis menyambut baik masuknya RUU Pemasyarakatan ke dalam Prolegnas Prioritas 2019 usulan Pemerintah. Mengingat eksistensi pemasyarakatan dalam subsistem peradilan pidana sangatlah penting sebagai ujung tombak reintegrasi warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Tentunya memerlukan suatu perubahan pola pembinaan dari yang berorientasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ke arah paradigma restorative justice system dengan pola pembinaan yang seimbang antara Lapas dengan lembaga-lembaga di luar Lapas untuk dapat menopang proses asimilasi dan reintegrasi sosial warga binaan serta lebih mengakomodir jaminan perlindungan HAM warga binaan.
Adapun setelah mempelajari materi muatan RUU Pemasyarakatan,penulis menyimpulkan beberapa catatan yang dapat menjadi masukan dan aspirasi bagi Pemerintah dan DPR dalam proses reformulasi RUU Pemasyarakatan. Catatan tersebut berupa:
Pertama, terdapat ketidakharmonisan atau ketidaksinkronan secara horizontal mengenai filosofi pemidanaan antara RUU Pemasyarakatan dengan RKUHP yang keduanya merupakan instrumen penting dalam proses rekonstruksi sistem peradilan pidana. Jika semangat yang lahir dari RUU Pemasyarakatan berorientasi restorative justice system, RKUHP justru masih setia mempertahankan orientasi retributive justice system. Oleh karena itu, perlu dibangun sinkronisasi horizontal antara RUU Pemasyarakatan dengan RKUHP dalam merumuskan pasal mengenai orientasi pola pembinaan dan pemidanaan warga binaan agar kesan pemidanaan tidak lagi berbau represif melainkan progresif.
Kedua, Perlu dilakukan sinkronisasi horizontal dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Sinkronisasi dilakukan untuk mengakomodir perkembangan lembaga pemasyarakatan yang kini juga diamanatkan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap korban KDRT atau bentuk konseling dalam ranah privat kekeluargaan (restraining order).
Ketiga, sebagai bagian dari integrated criminal justice system, RUU Pemasyarakatan harus senafas dengan RKUHAP sebagai sesama undang-undang yang bersifat formil. Mereformasi sistem peradilan pidana harus dimulai dari aspek yang in abstracto berupa formulasi yang harmonis.
Keempat, potensi dicabutnya PP 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan secara mutatis mutandis jika RUU Pemasyarakatan resmi diundangkan. Di dalam Ketentuan Peralihan RUU Pemasyarakatan, regulasi mengenai pelaksanaan hak warga binaan dikembalikan ke PP 32 Tahun 1999 yang merupakan regulasi awal mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemunduran paradigma mengenai pelaksanaan hak warga binaan yang pada PP 99 Tahun 2012 sudah mengakomodir pola pemberian hak bagi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Pola tersebut menegaskan diferensiasi tindakan (treatment) bagi warga binaan yang dipidana berdasarkan kejahatan luar biasa tersebut.
Kelima, berdasarkan catatan keempat di atas, perlu segera diformulasikan peraturan pelaksana untuk menyempurnakan PP 32 Tahun 1999 berupa proses diferensiasi perlakuan bagi warga binaan yang dipidana atas dasar kejahatan luar biasa dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan jaminan perlindungan yang non-diskriminatif terhadap syarat untuk mendapatkan remisi, cuti dan pembebasan bersyarat. Kewenangan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat diberikan sepenuhnya kepada lapas tanpa memerlukan pertimbangan dari lembaga terkait pada proses praajudikasi dan ajudikasi. Ketentuan tersebut tidak mendelegitimasi lembaga-lembaga terkait mengingat peran lapas sepenuhnya berada di jalur pascaajudikasi.
Keenam, RUU Pemasyarakatan belum responsif dalam mereformasi lembaga pemasyarakatan dalam hal pencegahan praktik jual beli remisi, jual beli cuti dan berbagai macam praktik yang mengarah kepada prison corruption. Urgensi reformasi kelembagaan dibutuhkan mengingat maraknya narapidana yang menyalahgunakan izin untuk keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Ketujuh, perlu diperkuatnya peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam proses pembinaan warga binaan sebagai institusi penting yang dapat membangun sistem pemasyarakatan di setiap daerah dan berorientasi pada nilai-nilai budaya setempat dengan tetap mengakomodir hasil penelitian pemasyarakatan (litmas). Perlu difikirkan model pemasyarakatan yang berorientasi masa depan yang bersifat independen, misalnya meleburkan Lapas dan Bapas ke dalam suatu badan tersendiri yang independen agar program pembinaan dapat berjalan tanpa adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H