Isu "Chinaisasi" di dunia Hyperreal
The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is truth - Ecclesiastes (Baudrillard 1981, 1)
Proses transformasi interaksi sosial berbasis virtual (cyber space) turut menggantikan peran interaksi fisik ke dalam interaksi simulasi gaya baru di ruang-ruang digital. Jika pada interaksi nyata, arus informasi yang beredar terbatas pada batasan jarak antara dua atau lebih informan. Pada interaksi virtual kondisi tersebut mendobrak tatanan jarak menjadi arus tanpa batas (borderless) akibat koneksitas ruang-ruang digital yang semakin massif menggantikan kedudukan ruang-ruang fisik. Kebenaran yang tampak seolah mendobrak nilai-nilai empirisme dan batasan nilai-nilai tampak tak berarti ketika kebenaran tersebut dilihat di dalam ruang-ruang virtual.
Kebenaran yang tampak secara nyata seolah tercampur pada kondisi simulasi pada ruang-ruang virtual sehingga kondisi dikotomi atau bahkan pencampuran apa yang tampak di dunia nyata dengan apa yang ditampilkan pada dunia maya seolah tercampur baur menjadi sesuatu yang sulit diprediksi (unpredictable), apakah kebenaran informasi atau realitas yang ditampilkan di dunia digital merepresentasikan realitas yang sesungguhnya di dunia nyata atau malah menghasilkan realitas baru yang artifisial dan manipulatif (framing reality).
Keadaan tersebut digambarkan oleh Baudrillard sebagai suatu gambaran simulasi, yaitu di saat individu-individu merasakan kenikmatan kala memasuki realitas baru di dunia maya sebagai sebuah candu akan kehidupan interaksioner tanpa batas namun imajiner bak seorang arsitektur yang mampu menciptakan bangunan sistem sosial futuristik, hal yang bisa saja kontradiktif dengan realitas yang sesungguhnya. Kondisi simulasi yang menciptakan wilayah teritorialnya sendiri oleh Baudrillard disebut sebagai kondis hyperreal.
Jika kita coba membaca arus informasi yang tengah beredar di dunia maya akhir-akhir ini, maka kita menemukan suatu pola penggiringan opini publik terhadap realitas yang mengarah kepada isu-isu sensitif. Isu-isu agama, komunisme hingga "Chinaisasi" seolah menjadi bahan bakar mentah yang paling siap diolah untuk menjadi sajian hangat dan nikmat untuk dilahap ramai-ramai oleh masyarakat. Seperti wanita cantik nan seksi yang nikmat untuk digerayangi habis-habisan. Isu-isu tersebut menjadi antitesis bagi keberAGAMAn dan kebeRAGAMan.
Selain isu agama yang dihentakkan kala momentum tersebut justru disulut tanpa sadar Ahok sehingga sukses membakar api bernama "intoleran". Seolah berefek berantai, muncullah insiden Sabuga yang juga bisa memacu berantai dengan isu-isu intoleran lainnya. Kerasnya penggiringan opini akibat 'salah langkah' Ahok sebagai momentum penggiringan arus lalu muncullah cara pandang kacamata kuda ormas Islam terhadap aturan hukum dalam menjalankan ibadah di Sabuga sebagai akibat arus deras opini yang tak terkendali lagi, bahkan seekor buaya pun tak mampu lagi melawan arus.
Hal yang sangat lucu adalah arus penggiringan tersebut menuju suatu titik hilir yang begitu luas dan besar, yaitu mengarah pada proses menciptakan ketidakpercayaan publik pada kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Kasus Ahok bahkan tidak lagi dilihat sebagai kepentingan agama, tetapi turut menyasar pada arus lain yang menuju satu titik yang sama. Ahok yang seorang China mulai dihubung-hubungkan dengan isu 'China", isu kemudian berkembang dengan berbagai penemuan-penemuan TKA illegal China oleh beberapa aparat baik aparat Imigrasi, TNI, hingga aparat Kemenaker.
Permasalahan TKA illegal asal China yang sesungguhnya hanya merupakan satu dari sekian banyak masalah TKA illegal asing yang berasal dari berbagai negara coba digeneralisasi seolah hanya TKA asal China saja yang illegal. Lucunya sebagian publik yang berlalu lintas di dunia maya ikut percaya dan dengan segera dan bangga menyebarkan isu-isu tersebut seolah-olah mereka adalah pengamat dan pakar tenaga kerja atau sekedar memantaskan eksistensi diri, hasilnya semua arus tersebut mengarah pada satu titik yaitu pemerintahan Jokowi-Jk yang dapat dilihat arus tersebut memiliki satu tujuan, yaitu mendelegitimasi pemerintahan yang berkuasa.
Realitas dunia maya tak membutuhkan data-data yang konkrit, kredibel, faktual dan prosedural, dan tanpa menghitung angka-angka secara kuantitatif. Cukup mengambil sampel yang entah dari mana dan kapan terjadi, sudah cukup untuk meramu formula argumentasi secara kualitatif yang seolah kredibel dan reliable dengan sedikit sentuhan editing ditambah analisis klise tanpa batu uji yang akseptabel, bahkan ketika Dirjen Imigrasi mengumumkan data 1,3 juta turis China masuk di Indonesia langsung diplesetkan menjadi TKA China, sehingga terkesan stereotype seolah pemerintah sedang bermain mata atau bahkan berpasrah diri untuk meminta China melakukan "Chinaisasi".
Usaha tersebut sebagai proses menciptakan kebenaran artifisial, suatu kebenaran yang diciptakan lalu disimulasikan lewat ruang sebesar layar laptop atau bahkan seluas layar hp android, ibarat kamera 360 menipu tapi indah terlihat, hyperreal. Hal ini cukup berlaku untuk kasus penemuan-penemuan TKA illegal China. Tentu arus informasi yang kadung massif membanjiri media sosial harus segera diklarifikasi kebenarannya sebelum mencapai titik klimaks opini yang terlanjur dionani oleh publik.