Lihat ke Halaman Asli

Bolehkah Berkampanye di Masjid?

Diperbarui: 20 April 2018   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.tokopedia.com/

Tak terasa kita memasuki tahun politik. Tahun dimana kandidat kepala daerah, kandidat anggota legislatif dan tim pemenangan Partai politik bersiap-siap berlaga di Pilkada serentak bulan Juni 2018 dan juga perhelatan Pilpres 2019. Alhasil, wajib bagi mereka untuk kampanye.

Kampanye adalah aksi atau gerakan serentak untuk berpropaganda dengan cara santun (Kamus Bahasa Indonesia, 2008, hal 627). Dalam konteks politik praktis, kampanye adalah gerakan mempropagandakan program-program individu maupun Partai politik kepada publik. 

Model kampanye terdiri dari dua macam. Kampanye damai, yakni dengan cara santun dan kampanye Hitam, yakni dengan menjatuhkan lawan politik.

Mempropagandakan program-program partai bisa memakai media apapun. Televisi, radio, koran dan media sosial. Asalkan di dalam muatan kampanye tidak mengandung unsur rasisme, hoax dan pornografi. Selain itu, hendaknya tidak memesan lembaga survei tertentu untuk menggiring opini publik.

Dari segi waktu kampanye, KPU dan KPUD sudah menentukan jadwal sekaligus larangan keras menggunakan fasilitas negara (lihat Pasal 84 ayat (1) huruf h UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif)

Namun, ada yang masih diperdebatkan. Misalnya bagaimana jika di saat pengajian, tabligh akbar bahkan Khutbah jumat terlebih itu di dalam Masjid, seorang politikus atau tim pemenangan melakukan kampanye?

Menjawab persoalan diatas, perlu saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Awal mula kampanye di masjid sebenarnya sudah muncul sebelum adanya partai politik dan dilaksanakannya sistem voting yang kita ketahui di sistem demokrasi.

Adalah Muawiyah bin Abu sufyan sosok yang pertama kali menggunakan masjid untuk berkampanye bahkan menjatuhkan lawan politiknya yakni Khalifah Ali bin abi thalib. Ia memanfaatkan kasus pembunuhan Khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid Damaskus barang-barang peninggalan Usman bin affan beserta potongan jari istrinya Khalifah Usman (Lihat Syed Mahmudunasir, Islam konsepsi dan sejarahnya, hal 197).

Dari Damaskus beralih ke Jakarta. Januari 2017 masih lekat dalam ingatan saya akan ceramah salah satu kandidat gubernur di Masjid al-Azhar. Dikutip dari detik.com, "Nanti silakan semua yang disini menentukan pilihan bulan depan. Saya nggak boleh kampanye kalau di masjid. Karena nggak boleh kampanye jadi saya bicara Qiyamul lail saja".

Apa yang dilakukan kandidat ini berbeda dengan Muawiyah. Kandidat ini sudah menghormati fungsi masjid di era modern. Dimana ketika di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain seperti dagang dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran, salah paham dan hal-hal lain.

Syeikh Mutawalli Asy-Sya'rawi berkata "Orang yang masih melakukannya (bicara dagang dan urusan duniawi) tidak akan mendapat berkah, malah ia akan mendapat kerugian" (Anda bertanya Islam Menjawab, 2005, hal 219).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline