Lihat ke Halaman Asli

Fadh Ahmad - Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri ini banyak peraturan yang dibuat oleh para pemangku jabatan baik di pusat maupun daerah. Mulai dari Undang-Undang, Tap MPR, Perda Syariah hingga Perwali. Adakalanya peraturan yang dibuat itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sebagian lainnya dipandang mengandung pasal-pasal multi tafsir, diskriminatif bahkan merugikan kalangan tertentu, sehingga rawan digugat ke Mahkamah konstitusi (MK). Baru-baru ini, Undang-Undang no 42 tahun 2008 tentang Pilpres digugat oleh pakar hukum tata negara Prof. Yusril ihza mahendra (1). Di lain pihak, UU 42/2008 tentang Pilpres ini juga digugat Efendi ghazali PhD bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. MK pun memutuskan penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak baru bisa diterapkan pada 2019. Dengan pemilu serentak, kelebihannya bisa menghemat waktu dan biaya. Tak hanya itu saja, dampak putusan MK ini membuat ambang batas pencalonan presiden yang sekarang minim 20% otomatis tidak berlaku. Maka dari itu setiap parpol yang berlaga di pemilu 2019 bisa mengusulkan capres masing-masing (2). Adapun kelemahan dari pemilu serentak ialah Parpol makin mengandalkan ketokohan dan tahapan pemilu lebih kompleks (3).

Berbicara sekilas tentang Yusril, apabila kita telusuri kiprahnya dalam menggugat ketidakberesan implementasi hukum di negeri ini, total sudah 7 kali memenangkan perkara di MK. Dia pernah memenangkan gugatan atas status jabatan Jaksa agung Hendraman supanji. Di luar MK misalnya ketika berperkara di PTUN, dia menang atas putusan KPU yang mana Partai PBB sempat diputuskan tidak lolos verifikasi faktual. Yang paling fenomenal, Yusril lolos dari kasus korupsi Sisminbakum. Bukan karena suap melainkan karena Kejaksaan masih minim bukti. Apa yang dilakukan oleh Yusril sebetulnya juga dilakukan oleh Ormas Muhammadiyah melalui Ketua umumnya Prof. Din syamsuddin.

Tulisan ini akan mendeskripsikan peranan Muhammadiyah dalam mengkritisi dan mengkaji kembali Undang-undang atau kebijakan yang Inkonstitusional dan dinilai merugikan dirinya, kepentingan negara serta masyarakat pada umumnya. Itulah sebuah misi mulia yang dinamakan “jihad konstitusi”. Misi ini dijadikan pula dalam agenda tajdid Muhammadiyah ketika menginjak umur seabad (4).

Sebetulnya Muhammadiyah melalui elitnya tidak hanya mengkritisi tetapi juga memback-up sebuah Undang-Undang yang sudah sesuai untuk kebutuhan masyarakat khususnya umat Islam. Undang-undang yang penulis maksud adalah UU PNPS tahun 1965. Muhammadiyah, NU beserta ormas Islam lainnya bersatu padu dalam membendung agenda kalangan liberal dalam Judicial review Undang-Undang No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan agama (5). Boleh dibilang ini adalah peluru terakhir dari kalangan liberal yang tergabung dalam sebuah LSM bernama AKKBB, Setara, Desantara dan lain-lain. Dalam gugatannya, kalangan liberal meminta kepada MK untuk mencabut keberadaan lima norma dalam UU Penodaan agama, yakni pasal 1 mengenai larangan menyebarkan agama yang berbeda dengan penafsiran agama yang dianut di Indonesia. Kemudian pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan pasal 4a. Para pemohon dari kalangan liberal itu juga berargumen UU PNPS ini bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan HAM (6). Pasalnya jika gugatan ini gagal maka cita-cita kebebasan beragama yang mereka usung pun buyar dan kucuran dana dari Barat akan terhenti. Untungnya MK menolak gugatan kalangan liberal tersebut.

Prestasi fenomenal Muhammadiyah adalah ketika memenangkan gugatan terhadap UU Migas. Gugatan itu didasari karena kebijakan pemerintah dan juga regulasi yang kurang berpihak pada pembentukan kesejahteraan. Apalagi dalam bidang ekonomi, terlalu membuka pintu bagi asing. Hasil dari dikabulkannya permohonan ini adalah pembubaran BP Migas (7). Pasca bubar, beberapa saat kemudian berganti nama menjadi SKK Migas. Sayangnya, lembaga baru ini terbelit kasus suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Dr. Rudi rubiandini dan bos Kernel Oil. (8)

Setelah sukses dengan UU Migas, Muhammadiyah menggugat UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Beberapa Pasal yang digugat adalah Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 64 ayat (1). Pasal-pasal ini mewajibkan rumah sakit harus dikelola di bawah naungan badan hukum yang bergerak di bidang perumahsakitan (9). Din Syamsuddin menilai aturan dalam pasal tersebut merugikan karena membuat banyak rumah sakit Muhammadiyah tidak bisa beroperasi, jika rumah sakit serta klinik milik Muhammadiyah telah habis masa izin prakteknya maka tidak bisa diperpanjang (10). Oleh karena itu, dalam permohonannya, Muhammadiyah meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang digugat.

Selain UU Rumah sakit, Muhammadiyah berada digarda terdepan dalam menggugat UU Ormas. Muhammadiyah menilai UU tersebut terlalu mengikat kebebasan berserikat (11). Sikap konsisten Muhammadiyah dalam menolak UU Ormas ini berpengaruh kepada Partai Amanat Nasional yang diketahui memiliki kedekatan emosional dengan ormas terbesar kedua di Indonesia. Dalam sidang Paripurna, Sebanyak 6 faksi yakni Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, dan PKB mendukung pengesahan UU Ormas, hanya Fraksi PAN beserta Gerindra dan Hanura yang menolak (12). Uniknya saat perwakilan dari PAN menjelaskan penolakan partai akan UU Ormas ini, sempat terdengar teriakan “Pecat besan!” dari salah seorang legislator, entah dari fraksi mana. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa memang dikenal sebagai besan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. (13)

Peran Muhammadiyah dalam Jihad konstitusi perlu kita dukung. Karena masih banyak aturan-aturan dan kebijakan yang sifatnya diskriminatif serta menguntungkan kalangan tertentu. Bisa penulis sebutkan misalnya: larangan berjilbab bagi Polwan, Kontroversi Pekan Kondom Nasional (PKN) yang dicanangkan oleh Menkes Nafsiah Mboi (14), hingga Program Jaminan Kesehatan Nasional/JKN yang sejatinya bukan jaminan kesehatan nasional, akan tetapi sistemnya seperti asuransi kesehatan nasional (15). Ormas-ormas Islam lainnya maupun para akademisi di kampus dan praktisi di LSM perlu mengikuti jejak Muhammadiyah. Bukankah ini bagian dari amar ma’ruf nahi munkar?. Wallahu’allambishowab

Endnotes:

(1) Koran Surya edisi 22 Januari 2014 hal, 2

(2) Kabar Pemilu TV One “MK: Pemilu digelar serentak 2019” 23 januari 2014 pk 16.00 wib; Koran surya edisi 24 januari 2014 hal, 2.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline