Lihat ke Halaman Asli

Fadh Ahmad - Berkaca pada Metode Dakwah Walisongo

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Ada dua pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Dua pertanyaan itu diantaranya, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya? Ada tiga teori yang populer, hingga kini masih diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi. Dicetuskan oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Pertama, Teori India, bagi pemuja teori ini, Islam masuk dari India. Ini teori dari Orientalis Belanda Snouck hourgronje. Sebetulnya, teori ini kepunyaan Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Akan tetapi, nama Snouck Hurgronje dipakai untuk memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam Nusantara.

Kedua, adalah Teori Gujarat Persia. Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Pencetusnya ialah P. A. Husein Jayadiningrat. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Terdapat pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya (Lihat buku Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Mizan: 1996). Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.

Kedua teori di atas mendapat kritikan yang cukup dalam dari Teori ketiga, yakni Teori Arabia. Buya Hamka adalah ulama yang mempopulerkan teori ini. Masih menurut teori ini, Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin. Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin (Hamka, Sejarah Umat Islam, Pustaka nasional: 2005).

Penulis teringat dari SMP hingga Perguruan tinggi, apakah karena yang mengajar sejarah Islam bukan ahlinya, dalam benak kepala masih tertanam bahwa Islam yang datang ke nusantara berasal dari Gujarat, yang menyebarkan adalah para saudagar. Islam baru tiba di sini sekitar abad 13 berpatokan pada nisan makam Fatimah binti Maemun di Leran-Gresik. Tentang makam ini, Prof Aminudin Kasdi dalam acara “Jejak Islam” TV ONE, berargumen bahwa makam tersebut kosong alias tidak ada jasadnya, nisan yang ada di sana sebenarnya hanya pesanan dari orang luar nusantara yang tak kunjung diantar karena soal teknis. Sedangkan kisah Para walisongo dari dulu hingga kini yang selalu ditonjolkan adalah karomah dan kesaktiannya, bukan bagaimana metode dakwah mereka. Ironisnya selalu dikatakan bahwa para wali itu dari Yaman, sebuah daerah di mana para agamawannya suka mengaku-ngaku keturunan Nabi saw. Padahal dalam buku-buku sejarah yang muncul beberapa dekade belakangan ini, terkuak bahwa para walisongo merupakan utusan dari Imperium Turki Ustmany.

Walisongo, penyebar Islam di Jawa terbukti berhasil menanamkan Islam di bidang tauhid, akhlak, sosial, budaya dan politik. Puncak prestasi mereka adalah berdirinya Kesultanan Giri, Demak, dan Cirebon. Ini sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah sufi semata yang menafikan penegakan syariat Islam. Kisah Walisongo dalam berbagai buku yang ditulis oleh orang yang tidak kompeten dalam sejarah seperti Prof. Abdul munir mulkhan. Para wali acapkali diidentikkan sebagai para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisongo adalah para tokoh keramat, sakti mandraguna dan digdaya. Hingga wafat sekalipun, makam mereka tetap menjadi sumber ngalap berkah dan lahan bisnis. Perlu diketahui, jika menengok karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali itu menerapkan syariat Islam dalam berbagai segi kehidupan. Metode dakwah mereka pada masa awal penyebaran Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa dapat dipetakan dalam dua pola: formalis dan kultural. Kubu formalis diwakili sunan giri dan sunan-sunan dari timur-tengah, sedangkan dakwah kulturalnya oleh sunan-sunan pribumi dalam hal ini Sunan kalijogo.

Dakwah yang dilakukan Maulana Malik ibrahim, Sunan giri dkk efektif di daerah pinggiran, pesisir dan kerajaan. Corak keagamaan yang dihasilkan adalah Islam murni. Saluran dakwah mereka melalui penikahan dan hubungan dagang dan pendidikan. Kelemahan metode dakwah formalis adalah belum sepenuhnya bisa menembus daerah pelosok atau yang kultur animisme-dinamismenya masih kental. Dari segi waktu untuk mengislamkan atau menarik minat orang-orang jawa masuk Islam agak lambat. Berbeda dengan sunan Kalijogo dan sunan Bonang dengan pendekatan kulturalnya (Seni dan budaya) mampu menarik minat orang jawa masuk Islam (Sumber: Hasanu Simon, Misteri Syekh siti Jenar, Pustaka Pelajar: 2007). Dakwah sunan kalijogo juga ada kelemahannya, orang-orang jawa yang disentuh dengan pendekatan dakwah kultural, komitmen keislamannya tidak dalam, atau hanya kulitnya saja. Tidak heran jika sunan kalijogo ketika ditegur oleh para wali khususnya Sunan giri. Sunan kalijogo pun berujar “biar generasi penerusku yang akan meluruskan (dakwahku)”.

Dalam konteks sekarang dimana Islam sudah menjadi agama mayoritas, berkaca pada pengalaman para pendahulu kita, hendaknya ormas-ormas Islam dan aktivis dakwah kampus harus merumuskan kembali formula dakwah yang efektif. Tidak perlu saling jegal antra satu sama lain atau mengungkit-ungkit masalah furu’iyyah. Metode dakwah yang efektif untuk kalangan akademisi, birokrat dan masyarakat perkotaan yang terdidik bukanlah kultural akan tetapi yang formalis. Disesuaikan dengan kultur intelektual mereka atau bisa juga lewat pendekatan sains. Tidak perlu terlalu “galak”, sedikit-sedikit bid’ah, thoghut dan kufur segala. Metode dakwah seperti ini membuat orang tidak simpati. Sedangkan pada masyarakat pedesaan, untuk sementara dengan pendekatan kultural. Meniru model jamaah tabligh yang door to door dan memakmurkan masjid juga boleh dicoba. Banyak masyarakat pedesaan yang tertarik dengan model dakwah mereka yang a-politis dan ramah. Penulis berkesimpulan, dua pola dakwah di atas bisa jadi alternatif ditengah maraknya “terorisme” dan paham “liberalisme” yang ditunggangi kalangan tertentu untuk memporak-porandakan harmoni islam di Indonesia.Dengan dua pola dakwah diatas, harmoni dan kebangkitan islam suatu saat akan terwujud di Indonesia. Seperti yang pernah diprediksi oleh Dosen Studi Islam di Universitas Chicago, Fazlurrahman. wallahu’allam bishowwab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline