Lembaga peradilan merupakan institusi Negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara, yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan hanya akan berjalan dengan baik, apabila semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik pihak-pihak yang berperkara maupun hakimnya sendiri mengikuti aturan main (rule of game) secara jujur sesuai tertib peraturan yang ada.
Dalam membuktikan secara yuridis untuk mencari kebenaran tidaklah sama. Kebenaran yang hendak dicari hakim dalam menyelesaikan suatu perkara, dapat berupa kebenaran formil maupun kebenaran materiil yang keduanya termasuk dalam lingkup kebenaran hukum yang bersifat kemasyarakatan.
Dalam praktik peradilan pidana, mayoritas hakim mengakui dan membenarkan bahwa dalam perkara pidana yang hendak dicari hakim adalah kebenaran Formil yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim. Oleh karena itu dalam mencari dan menemukan kebenaran, hakim terikat dengan keterangan dan bukti-bukti Formilyang terungkap dalam persidangan.
Meskipun yang dicari hakim dalam perkara pidana adalah kebenaran Formil, tetapi dalam implementasinya dimungkinkan ada penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan. Dalam praktik peradilan, hakim perlu melihat kasusnya terlebih dahulu apakah kedudukan pihak-pihak yang berperkara seimbang (sebanding) ataukah tidak. Pengertian seimbang dilihat dari berbagai faktor, seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan status sosialnya.
Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara yang kedudukan para pihaknya seimbang, memang kebenaran Formilyang dicari hakim dan sistem pembuktian positiflah yang diterapkan.
Tetapi dalam kasus-kasus tertentu, di mana kedudukan pihak-pihak yang berperkara tidak seimbang atau ada kesenjangan yang cukup signifikan, maka hakim akan berupaya mengorek lebih dalam dan mengkaji peristiwanya secara lebih seksama. Dengan demikian diharapkan putusan yang dijatuhkan nantinya dapat memenuhi rasa keadilan.
Kebenaran Materiil ini baru muncul apabila ada bantahan dari pihak lawan. Dalam hal mpenuntut umum yang mengajukan saksi, maka keterangan dari saksi tersebut terlebih dulu akan dihubungkan dengan saksi darim pihak tersangka serta alat-alat bukti lainnya. Sehingga dalam proses tersebut secara tidak langsung juga berupaya menemukan kebenaran Materiil.
Adapun keyakinan hakim yang harus didapatkan dalam proses pembuktian untuk dapat menjatuhkan pidana yaitu :
- Keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, artinya fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itum (suatu yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak pidana yangm didakwakanm JPU telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi syarat minimal yakni dari dua alat bukti. Keyakinan tentang telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi diperlukan pula dua keyakinan lainnya.
- Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya, adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang objektif. Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas sesuatu yang obyektif.
- Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam halm melakukan tindak pidana, bisa terjadi terhadap dua hal/unsur, yaitu pertama hal yang bersifat objektif adalahm tiadanya alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar pada diri terdakwa, maka hakim yakin kesalahan terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar hal mengenai diri terdakwa. Maksudnya, adalah ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa tidak terdapat alasan pemaaf. Bisa jadi terdakwa benar melakukan tindak pidana dan hakim yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan fakta-fakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasarkan syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
keyakinan hakim tetap diperlukan dalam mengambil keputusan, meskipun penggunaan keyakinan hakim dalam perkara pidana tidak ada larangannya, tetapi bahwa hakim tidak dibenarkan dalam memutuskan perkara pidana hanya mendasarkan pada keyakinannya saja dan mengabaikan bukti-bukti formil yang diajukan para pihak di persidangan, artinya dalam mengambil keputusan hakim harus yakin dengan keputusan dan berdasarkan alat bukti di persidangan.
Prof. Eddy O. S. Hiariej mengatakan dalam tulisan Prof. Satjipto Rahardjo berjudul "Determinasi Suatu Hukum" ada satu kalimat dari Prof. Satjipto bahwa kita hidup dalam hukum modern sayangnya hukum modern itu tidak bisa menjamin bahwa yang menang dalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah "Law is the of Interpetation" tergantung argumentasi yang kita bangun, oleh Karena itu konteks ilmu kejahatan yang ditulis oleh Goldstein maupun Peter Hoefnagels ada yang namanya "Area Not To Enforce" (daerah yang tidak dapat dijadikan kenyataan perkara) jadi kita tidak bisa hanya berprasangka sebab dalam perkara pidana yang dipegang teguh adalah "In Criminalibus, Probationes Beden Esse Luce Clariores" (bahwa dalam perkara pidana bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya).