Langkah akademik memang lebih bisa diterima dibandingkan langkah politik. Seminar tentang PKI dianggap berbahaya, tapi buku-buku tentang PKI dan tokohnya yang terpampang rapi di Gramedia dianggap biasa saja. Yang cetak Kompas sama Tempo pula.
Hal ini juga berlaku jika ada yang bertanya: mengapa ajaran Salafy lebih memasyarakat dibandingkan ajaran NU dan Muhammadiyah? Karena ustad-ustad Salafy sangat akademik: nulis buku dan ceramah keliling Indonesia. Bandingkan dengan ustad-ustad NU dan Muhammadiyah yang sibuk berpolitik. Pas bikin tulisan, tentang politik pula.
Saya termasuk orang yang kecewa dengan langkah politik Banser NU membatalkan ceramah Ustad Kholid Basalamah di salah satu daerah di Jawa Timur. Kekecewaan saya sederhana saja: apakah NU tidak punya lagi Ustad yang bisa membantah ceramah Ustad Kholid secara akademik? Masyarakat lebih butuh itu dibandingkan gerombolan Banser.
Lebih kecewa lagi saya terhadap Pemerintah yang membubarkan HTI secara tidak akademik. Cuma bermodal Perpu dan Konferensi Pers. Pertanyaannya: sudahkah Pemerintah mengaji secara mendalam benar-tidaknya ajaran HTI? MUI saja ndak pernah bilang HTI itu sesat. Atau pedomannya cuma satu: asal tidak pancasilais. Apa pula gunanya Pemerintah mendengungkan perlunya budaya literasi dan mengangkat Najwa Shihab sebagai Duta Baca?
Kalau pedomannya cuma asal tidak pancasilais, Syiah, Ahmadiyah, LDII, dan bahkan NU dan Muhammadiyah pun tidak pancasilais. Syiah misalnya, mereka berbaiat kepada ahlulbait dan imamnya, bukan kepada Jokowi. Jelas mereka tidak pancasilais. NU dan Muhammadiyah pun demikian, mereka pasti meyakini kedatangan Imam Mahdi. Kalau Imam Mahdi bakalan datang, berarti Pancasila bukan harga mati, kan?
Sepertinya memang kita harus sepakat: menjelang 30S nanti, Gunung Agung lebih berbahaya daripada isu PKI. Karena bencana alam tidak pernah basa-basi, apalagi dipolitisasi. Ketika akademisi vulkanologi menyuruh warga untuk mengungsi, warga pun ndak perlu cemas kalau-kalau suruhan itu hanya politisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H