Lihat ke Halaman Asli

Aku, Dia, dan Puncak

Diperbarui: 19 Juli 2020   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Genpi.co

Matari telah hampir tenggelam. Bukan karena takut, memang sudah saatnya. Aku teringat janjiku pada kekasihku. Wanita bertubuh seperti gitar berbentuk delapan dan kulit mulus. Mungkin, jika lalat menggigitnya, tidak akan bisa karena terlalu mulus dan licin. Bisa-bisa, lalat terjatuh sebelum menggigit.

Diriku teringat janjiku, janji untuk pergi berdua ke puncak. Puncak itu sangat memukau di Kudus, namanya adalah puncak Songolikur atau biasa di sebut Saptorenggo.

Tas sudah diriku persiapkan yang isinya dua tenda, dua sleeping bag, kompor lapangan, kopi, mie, dan peralatan lainnya. Memang, aku persiapkan untuk dia sebagai hadiah ulang tahunnya di umurnya yang ke-19 tahun.

Segera ku persiapkan motor kesayanganku, astrea 1996 untuk menjemputnya. Memang termasuk motor klasik, tetapi aku berani bertaruh dengan kualitas mesinnya. Motor astreaku dan aku bebarengan mengunjungi perempuan pujaanku yang sedang ulang tahun yang ke-19 tahun pada tanggal 19 Juni 2020 itu.

Niatku dari rumah hanya satu, menikmati bintang di awan dan melihat indahnya lampu-lampu kota dari puncak. Semua suasana itu harus butuh perjuangan, iya seperti perjuanganku untuk mendapatkannya dulu.

Dia sudah menunggu di depan rumah. Dia tampak mempesona. Kekasihku memakai sandal gunung, jaket, dan tas gunung. Dari penampilannya tampak sudah benar-benar niat untuk muncak bersamaku. Mimik mukanya juga terlihat bahagia tanpa adanya kekecewaan atau kesengsaraan. 

Diriku menyuruhnya langsung naik ke atas motor. Rumahnya dekat juga dengan punyaku. Kira-kira kita berjarak hanya beberapa kilo meter. Rumahnya di desa Prambatan, sedangkan rumahku di desa Jagalan.

Kita menyusuri jalan dari mulai desa Gribig sampai dengan desa Semliro. Iya, desa yang tampak hening dan terkenal kopi gunung murianya. Motorku mendukung perjalananku. Buktinya, dia tidak marah ketika aku boncengan kekasihku. Marahnya motorku, biasanya macet.

Aku akhirnya sampai di parkiran motor puncak Songolikur. Iya, bersamanya dan motorku. Tetapi untuk naik gunung, terpaksa aku meninggalkan motor kesayanganku.

Aku dan kekasihku mulai menaiki gunung dengan kaki. Kita menyusuri jalan yang tampak indah. Aku sudah menyiapkan senter untuk menyoroti ketika malam. Yang namanya gunung, pasti minim pencahayaan. Mungkin, bisa jadi tidak ada malah.

Aku memutar music box yang ada di tas. Biasa, genre kesukaan kita pop sehingga itu yang kita putar. Di sisi lain, kita juga ngobrol hangat untuk menepis kedinginan malam itu. Iya, malam. Soalnya perjalanan dari sore dan naik ke gunung pasti sudah malam hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline