Dalam undang-undang nomor 15 tahun 2011 di paparkan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.ada tiga lembaga yaitu Komisi pemilihan umum, badan pengawas pemilu,dan dewan kehormatan penyelenggara pemilu, ketiganya merupakan lembaga negara yang berfokus di bidang electoral atau proses transisi dan transformasi pemerintah di dalam negara demokrasi.
Adapun ketiga lembaga tersebut memiliki tugas dan wewenang yang berbeda dalam pelaksanaannya,komisi pemilihan umum atau yang di singkat dengan KPU memiliki tupoksi sebagai penyelenggara pemilu di seluruh tingkatan dan bersifat tetap,nasional,dan mandiri.selanjutnya ada badan pengawas pemilu atau yang selanjutnya di singkat BAWASLU memiliki tugas sebagai pengawas dalam pemilu di seluruh Indonesia,dan yang terakhir adalah DKPP yang memiliki wewenang menangani pelanggaran kode etik penyelenggara electoral serta di dalamnya terdiri dari delegasi per unsurnya dengan tambahan DPR dan berkedudukan di ibu kota negara.
Sejauh definisi yang kita pahami maka dapat di ambil kesimpulan bahwa kesemua lembaga di atas yang terlibat dalam penyelenggaraan electoral sudah semestinya bersifat mandiri atau independent dan terbebas dari intervensi pihak manapun.oleh karena posisinya yang cukup sentral maka sering di sebutkan bahwa lembaga-lembaga tersebut adalah mutlak peranannya.karena hal tersebut syarat akan berjalannya sebuah negara demokratik.
Kendati demikian keberadaanya kerap melahirkan sisi pro dan kontra,mulai dari akuntabilitas,profesionalitas hingga fungsionalitasnya dalam elemen pemerintahan.tidak sedikit di jumpai pelanggaran dan penyalahgunaan di dalam tubuh lembaga tersebut ketika peranya sedang berada di posisi krusial.namun syukurnya hal tersebut dapat segera di perbaiki oleh pemerintah berkat banyak pihak terutama media informasi.
Selain pelanggaran kode etik,lembaga ini juga kerap menjadi objek kritik dan kajian terkait keberadaanya dengan status quo sebagai sebuah lembaga. Seperti yang akhir-akhir ini mencuat di banyak media masa,isu tentang wacana perubahan status lembaga KPU dan BAWASLU dari lembaga tetap menjadi lembaga AD HOC/ lembaga sementara kembali terangkat setelah salah satu anggota badan legislasi DPR RI mengusulkan perubahan status dari lembaga tersebut.di lansir dari detik.com,saleh daulay menilai hal tersebut perlu di lakukan untuk menghindari liabilitas daripada anggaran negara,dirinya menambahkan soal tupoksi lembaga yang tidak krusial setiap saat. Usulan tersebut lantas di sambut oleh fraksi Gerindra DPR yang menyebut bahwa proses pelaksanaan pemilu dan pilkada sudah berada pada lini waktu yang sama sehingga beberapa tahun setelahnya lembaga ini tidak memiliki peran krusial.ia mendalilkan hal yang sama mengenai gaji yang harus di bayarkan setiap bulan dalam rentang waktu 5 tahun kepada para pejabat lembaga tersebut yang dinilai tidak proporsional karena banyak waktu vakum dari tugas pokoknya.
Komisi 2 DPR RI sebagai divisi yang membidangi hal tersebut memberikan tanggapan,rifqinazamy selaku ketua komisi 2 mengatakan pihaknya belum memiliki pendapat spesifik untuk merespon hal tersebut namun yang pasti perlu di kaji lebih dalam lagi, ia juga mengatakan belum menjadwalkan isu tersebut dalam agenda sidang komisi karena prioritas prolegnas 2025 adalah reformasi ASN.
Syahdan,wakil ketua komisi 2 Aria bima justru kontra dengan isu tersebut,pihaknya menilai hal tersebut kurang tepat dan justru mendorong peningkatan kualitas dalam lembaga tersebut. "Saya kok melihat bobot dari banyak tugas yang ada buat KPU pusat, KPU provinsi, dan KPU kota/kabupaten, kurang tepat kalau KPU ini di-badan-ad hoc-kan. Lebih bagus ditingkatkan tugas-tugasnya. Pemberdayaan, penyadaran terhadap kesadaran peran atau tingkat kompetensi pemilih," kata Aria di rumah pemenangan Pramono dan Rano Karno.
Hal ini tentu melahirkan sisi pro dan kontra di dalamnya,kalangan pejabat parlemen menilai hal ini selayaknya di lakukan untuk efisiensi anggaran,namun banyak dari akademisi yang berpendapat bahwa hal tersebut justru destruktif,dengan alasan khawatir akan intervensi eksternal dan menurunnya pendidikan politik konstituen,karena di luar waktu penyelenggaraan seharusnya peran lembaga-lembaga tersebut di optimalkan pada pendidikan dan pemberdayaan pemilih dan peningkatan partisipasi warga negara terhadap politik,justru memang perannya di luar penyelenggara yang harus menjadi evaluasi.perihal ini harus menjadi follow up dari apa yang menjadi buah pikiran Tan malaka mengenai kodrat negaif dan kodrat posistif, setidaknya warga negara harus mendapat penolak kebodohan (dalam konteks politik) di samping hak memilih yang di miliki.
Fachrizen,Wonosobo 03/12/24
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H