Presidential Threshold, Demokrasi, The Critizen, HAM, Aksi Kamisan, Marsinah.
Presidential Threshold, merupakan salah satu sebab dari terjadinya polarisasi dan kondisi carut-marut serta panasnya bidang politik saat ini, yang menyebabkan masyarakat terpecah akibat tidak adanya pilihan, dalam hal ini poros ketiga dari pencalonan presiden dalam pemilihan umum (Pemilu).
Presidential threshold menyebabkan sulitnya kandidat-kandidat yang memiliki kapabilitas sebagai presiden, yang menjadi terhalang oleh aturan presidential threshold ini. Presidential Threshold tertuang dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres dalam Pemilihan Presiden. Hal inilah yang mengakibatkan sulitnya seseorang yang mungkin mampu untuk maju mencalonkan diri sebagai Presiden, namun kurangnya dukungan dari Partai Politik dan/atau koalisi Partai Politik yang akan mengusungnya, disebabkan kalah pamor dari kandidat lain.
Banyaknya berita-berita bohong, kabar burung, dan provokasi juga turut andil menjadi sebab carut-marut kondisi politik yang makin hari kian memanas dan tak kunjung reda. Kebebasan berpendapat sebenarnya telah dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, disebutkan dalam pasal 28E ayat (3) "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Namun kebebasan ini sendiri telah dijadikan tameng hukum dan alibi dari pelaku penyebaran hoax.
Seiring berkembang pesatnya teknologi, jejaring komunikasi antar masyarakat tentu berkembang dengan pesat pula, tak hanya sesama masyarakat Indonesia saja, namun juga dengan masyarakat internasional. Orang-orang dengan bebas berpendapat, baik pendapat positif maupun negatif, berdiskusi, bahkan berdebat. Namun hal ini diimbangi pula oleh bebasnya oknum masyarakat mencaci, memaki, memfitnah, dan menyebarkan berita bohong yang tak jarang memuat isu SARA.
Kata "Netizen" kini telah berubah menjadi "Critizen" mengapa? Sebab semua hal yang ada dan beredar di internet, selalu dikritik, bukan kritik membangun, namun kritik ke arah penghinaan dan merendahkan, baik itu hal yang dikerjakan Pemerintah, maupun karya perseorangan.
Hal ini bertentangan dengan apa yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) khususnya. Kebebasan berpendapat tentunya bukan berarti bebas memfitnah, mencaci, dan memaki. Kebebasan berpendapat juga bukan berarti berpendapat sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan batasan-batasan yang ada, apa saja batasan itu?
Batasan tersebut terdapat dalam aturan tertulis dan tak tertulis; norma-norma seperti norma adat, norma hukum, dan norma agama. Mengutip lirik dari lagu Slank yang berjudul Orkes Sakit Hati, "kebebasan yang kamu dapatkan, bukan jadi kamu boleh sembarangan" artinya kebebasan yang telah didapat bukan berarti bebas untuk berpendapat dan menilai seseorang ataupun suatu hal yang terjadi.
Kritik-kritik yang terlontar lebih sering terkait hal-hal politik (pilpres khususnya), kritik pada keuangan negara, dan kritik pada jalannya pemerintahan yang cenderung keras, tanpa menghadirkan solusi. Namun kabar baiknya adalah, cukup banyak juga "Netizen" yang sebagian besar adalah anak muda, yang sadar akan Kasus-kasus Pelanggaran HAM masa lalu, pemberontakan PKI, pemberontakan DI/TII, gerakan-gerakan separatis, terorisme, dan Kasus pelanggaran HAM yang terjadi pasca reformasi (Kasus penyiraman kepada salah seorang Penyidik KPK, Novel Baswedan).
Dugaan pelanggaran HAM pada masa lalu cukup banyak terjadi, dan cukup banyak yang telah terungkap, namun tentu banyak pula yang belum terungkap hingga saat ini, Kasus Marsinah, seorang buruh pabrik arloji yang dibunuh sebab meminta kenaikan gaji pada buruh, namun hingga saat ini pelaku pembunuhnya masih belum terungkap, ia dimakamkan di Makam Pahlawan Buruh "Marsinah" dan dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien.
Aksi Kamisan menjadi hal yang menarik, menarik karena masih saja belum ada kejelasan terkait apa yang disampaikan pada Aksi Kamisan tersebut, hari berganti bulan, bulan berganti tahun, selama itu pula tak ada kejelasan, apalagi keadilan. Sepanjang melakukan Aksi Kamisan, peserta aksi hanya sekali diajak masuk ke Istana bertemu Presiden.