Tibalah saatnya kami pergi ke Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan live in. Kegiatan tahunan yang rutin diadakan sekolahku. Semua peserta turun dari bus pengantar di kantor kecamatan, berkumpul menunggu dijemput orang tua angkat.
"Sugeng enjing...", tiba-tiba kudengar suara yang memutus lamunanku. Kami membalikkan badan. Terlihat sesosok pria tua dengan motor bebek tua bersama seorang pemuda 18 tahunan. Pemuda itu memakai kaos partai yang warnanya pudar dan topi coklat tua. Ia tersenyum ramah.
"Oh, iya, sugeng enjing, Pak!" sambutku dengan rasa takut yang berusaha kusembunyikan. Sebelum berangkat, kami diwajibkan menghafal kata-kata daerah untuk berkomunikasi di sana. Sugeng enjing, sugeng siang, sugeng ndalu, matur nuwun, nyuwun pangapunten, inggih, mboten, ... dan sederet kosa kata lain kami hafalkan selama persiapan live in ini.
"Kalian murid dari Bandung itu, ya?" tanyanya.
"Iya, Pak. Apakah ini Bapak Margono?" jawabku.
"Ya, betul sekali. Saya orangnya. Kenalkan, ini Agus anak saya. Nama kalian siapa?"
"Aku Chintya," jawab temanku.
"Nama saya Dian, Pak," jawabku.
"Wah, namanya bagus-bagus, ya. Ayo ikut kami. Kalau lama-lama berdiri di sini, nanti kulit kalian jadi hitam." Pak Margono mengajak kami menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang kami perbincangkan. Jarak kantor kecamatan dengan rumah Pak Margono cukup jauh. Jalan menanjak.
Kami sampai rumah. Suasana rumah yang cuku sederhana ini lengang, seperti tidak berpenghuni. Persasaanku jadi campur aduk.
"Kamar kalian di sana. Maaf ya, rumah ini memang selalu berantakan,'' Mas Agus berkata.