Lihat ke Halaman Asli

Takjil

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Disebuah stasiun kereta pinggiran Jakarta. Sekelompok orang muda direkrut jadi tim sukses. 4 orang remaja putri, mereka semua berkerudung, bertugas membagikan kotak kardus. Seorang remaja putra, dia mengenakan jaket almamater dengan gambar calon yang akan dia sukseskan, kebagian tugas seksi dokumentasi. Mengabadikan dengan pocket camera ritual pembagian kotak kardus kecil tersebut.

KRL Tanah Abang - Ciujung dari arah Jakarta datang. Para commuter berbondong turun. Sore ini baru pukul 5 lebih sedikit. Masih panjang menunggu waktu berbuka. Cukup sigap para remaja putri itu membagikan sekotak kardus kecil kepada kerumunan orang. Tak kalah tanggap remaja pria itu menjepret-jepret dari berbagai sudut bidikan yang dramatis. Tak butuh lebih dari lima menit seluruh kardus ludes.

Di negeri yang sudah 65 tahun ini merdeka dan yang juga semakin rawan bencana, pemberian bantuan atau sumbungan adalah komoditas media. Pada skala kecil, minimal akan difoto jabat tangan pemberi dan penerima. Dalam skala besar, sorot silau lampu kamera, broadcast tv nasional akan meningkatkan citra mulia ke seluruh pelosok negeri.

Aku pernah protes pada seorang senior mengenai hal ini. Mei 2006, hanya 3-4 hari setelah gempa menghancurkan Jogja, kami turun langsung ke pedalaman Bantul sengaja mencari daerah yang sekiranya belum maksimal terjangkau bantuan. Setelah bantuan di serahkan seperti lazimnya adalah sesi foto-foto. Aku tak mau memfoto apalagi sampai di foto bersama, tapi kata senior, foto tetap harus di ambil untuk laporan ke Jakarta.

Tuhan mengajarkan ikhlas, tangan kanan memberi seolah tangan kiri tidak tahu. Pada tataran lebih tinggi adalah ikhsan, cukup Tuhan yang jadi auditor keshalehan sosial kita, cukup Tuhan saja, melalui sinar mataharinya mengabadikan uluran tangan kita dengan tetap memulyakan yang di beri, tanpa lampu jeprat-jepret kamera.

Tapi tidak bagi manusia. Manusia menciptakan motif, mencari alasan dan berdalih. Tak ada yang gratis di dunia ini. Semua ada kalkulasinya dan ada balas jasanya.

Seperti juga sekotak kardus kecil sore ini, apakah gratis? Sama sekali tidak. Bersama kardus itu ada pin bulat cukup besar bergambar bakal calon walikota yang sedang berusaha dimenangkan.

Apakah cukup pin itu saja ongkos sekotak kardus kecil itu? Tidak, sama sekali tidak. Lihatlah ke samping, kepada remaja putra yang dengan bangga memegang pocket camera, mengabadikan momen dramatis dan mulia ini. Membagikan kardus kecil untuk takjil berbuka, di sebuah stasiun kecil pinggir Jakarta, adalah ongkos yang harus di bayar selanjutnya. Dan tunggu beberapa waktu saja, makanan takjil dalam kardus kecil tadi sudah habis, tapi foto-fotonya mungkin akan mejeng di website atau facebook tim sukses. (ayo sapa mau di tag?) Beberapa foto itu mungkin akan di cetak besar dan dipampangkan dijalan protokol kota menunjukkan aktivitas sosial dan kepedulian bakal calon. Pilkada memang sebentar lagi berlangsung.

Ongkos mendongkrak citra lewat sekotak kardus kecil berisi takjil berbuka sangatlah murah. Lebih mahal sedikit mungkin adalah pembagian buku pribadi dan profil keluarga (atau dinasti) dalam sebuah acara kenegaraan tertinggi.

Tapi kalau kita mau menerimanya, menurutku, ongkosnya mahal, teramat sangat mahal.

Puasa mengajarkan menjadi kaya. Dan kaya bukanlah keberlimpah-ruahan tapi adalah keberkecukupan yang berkeberkahan. Hanya dengan setengah piring nasi plus lauk, yang di makan pada dini hari dengan mata setengah kantuk tapi mampu menahan lapar dahaga seharian. Pada hari-hari biasa aku tak akan sanggup melakukannya.

Puasa juga mengajarkan kemiskinan. Kondisi kepapaan, kesendirian dan juga kesunyian. Kalau miskin tapi masih ada temannya mungkin masih bisa sedikit semangat. Tapi kalau sudah miskin, sendirian pula rasanya lebih memberatkan. Puasa mengajarkan miskin, terutama miskin publisitas.

Adegan sholat dengan tangan menengadah ke atas, dengan muka sembab berurai airmata buatan, dengan suara doa sesegukan meminta agar lelakinya yang lagi amnesia temporer yang sedang direbut wanita lain kembali padanya, sangat sering di jumpai dalam sinetron telivisi di bulan Ramadhan. Pengucapan syahadat oleh artis bisa jadi hit di infotaiment gosip. Selebriti bahkan orang biasa berangkat dan pulang haji tak luput dari publisitas. Pembagian zakat bahkan menunggu liputan berita, semakin berjubel yang berebutan semakin sukses.

Tapi bagaimana cara memfoto puasa, bagaimana cara mengabadikan aktivitas puasa lewat lensa kamera atau media lain untuk mengabadikannya kemudian mempublishnya? Puasa teramat sangat private, urusan paling rahasia antara hamba dan Tuhannya. Makanya "puasa adalah untukKU dan hanya Aku sendiri yang mengetahui pahalanya".

Puasa hari ke 20. Sebagian diketik di stasiun Rawa Buntu, BSD City.

>Tuhan Maha Kaya yang rakhmatnya meliputi segala sesuatu, aku berterimakasih untuk esdawet menu takjil hari ini. Juga nasi padang untuk menu bukanya. Menurutku sayur daun singkongnya sangat gurih. Lebih bersyukur lagi aku mampu membelinya sendiri, dengan duit hasil keringat sendiri. Aku bersyukur untuk rejeki halal yang kau berikan untukku dan seluruh keluargaku, semoga selalu Kau tambahkan keberkahan atasnya<

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline