Lihat ke Halaman Asli

Logika Vs Rasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kau mungkin akan bilang: kau terlalu memakai perasaanmu, pakailah logika dan rasa dengan proporsional...

Tapi biarlah, aku menguatkan perasaanku jika dengan begitu kau tidak akan terus menyudutkanku dengan kebenaranmu sendiri. Karena dengan logika juga lah, kau akan mendebatku dan membuat dirimu menang dengan logika, referensi dan sekalian rumus yang menjadikanmu begitu wah. Karena jika aku menyandingkan logika dan rasa pun, proporsional adalah menurut takaranmu juga. Hingga saat kau begitu bosan, kau akan bilang: kelihatan keperempuananmu...dan kau akan beranjak. Sementara aku masih menggumam: huh?

Kau nyaris selalu memposisikan dirimu sebagai yang tak terbantah. Kau tawarkan semua referensi beratmu yang entah kapan bisa ku baca, kau bicarakan itu seolah memang tesis mereka sangat masuk akal dan tak perlu ditawar-tawar meskipun kau selalu bilang, kita bisa ber-antitesis nanti, untuk merumuskan sintesis yang kemudian juga akan berulang lagi sebagai tesis, antitesis dan seterusnya. Omong kosong dengan semua itu, karena pada kenyataannya aku sering takjub (saja) dengan ide-ide itu.

Isme-isme yang kau pertentangkan menuntutku untuk mengabaikan personal, meski kau mengelak mengakuinya. Kau selalu bilang: orang ber-isme seperti itu, bagaimanapun cerdas dan berintegritas, hanya akan memperdayamu untuk tujuannya. Dan tujuan itu, dia bikin sedemikian rupa seolah itu juga menjadi tujuanmu. Begitulah cerdasnya dia. Dan integritasnya yang dia katakan berdasar nilai-nilai universal itu juga tak lain adalah upaya untuk membuatmu tak dapat mengingkarinya. Tapi sekali lagi yang harus kau ingat adalah tujuannya, tujuan besar di balik semua proses yang dia terapkan...

Kau juga tidak bisa menafikan perbaikan yang dia lakukan dong?, belaku. Sudah ku bilang, ah susah sekali kamu ini. Itu semua memang ada dalam skenarionya. Sering-seringlah membaca, biar kamu bisa menganalisis dengan jelas. Kau mulai bosan, tapi sebenarnya aku lebih bosan. Kita baca pun harusnya dari dua referensi, jangan cuma dari satu referensi yang ditawarkan isme-mu. Itu sudah keberpihakan intelektual... Hei, siapa bilang aku baca satu referensi?? Kamu itu yang suka baca sepotong-potong! Hahaha....ternyata kau marah juga. Aku lupa, kau ini kutu buku, semua kau lahap... Baiklah, aku bisa belajar. Tapi soal rasa, aku tidak yakin...(***Sebuah fiksi tentang perdebatan diri)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline