Lihat ke Halaman Asli

Layang-layang

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

kaki-kaki kecilku riang menapaki jalan setapak di samping sungai di sebelah timur rumahku. teman-teman lelaki cilik sekampung telah asyik di sana. mereka teriak-teriak, girang dengan layang-layangnya. teman perempuan mandi di kali. biasanya aku juga beserta mereka. tapi tidak hari ini, mungkin esok-esok juga.

aku ingin main layang-layang. mulanya ingin layang-layang yang apik, warna-warni, ekornya panjang. kata temanku, banyak dijual yang bagus-bagus begitu. tapi aku harus nabung dulu, karena harganya cukuplah untuk jatah jajanku beberapa minggu. sebuah layang-layang dengan gambar gatotkaca sudah ku pesan jauh hari biar tak dibeli yang lain. kata abang yang jualan, terbangnya seperti gatotkaca. elok benar, pikirku.

benar saja, setelah rela tak jajan dua minggu lebih, gatotkaca itu bisa ku bawa pulang. ibu tanya, untuk apa. ku bilang, ingin main dengan teman-teman di sawah siang nanti. ibu tak suka. kata ibu, aku nonton saja, biar bocah laki-laki yang main. aku tak mau. aku ingin main layang-layang.

tapi tak jadi main memang, gatotkaca itu hilang, padahal aku ingat sekali dimana menaruhnya. aku hampir saja nangis, tak tahu kenapa gatotkaca lenyap begitu. tapi aku benci sendiri kalau cengeng, jadi aku main saja ke sawah. lari, dan terus lari. aku nonton saja. berteriak-teriak, ketawa-tawa kalau angin kencang menerbangkan layangan hingga nyasar, nyangkut di pohon, putus. aku lihat saja semua itu, sambil berpikir bagaimana agar esok aku bisa beserta mereka. melambai-lambaikan mainan itu. kalau bisa, ikut lomba mereka. siapa yang paling tinggi menerbangkannya, paling indah meliukkannya, dan paling tahan lama, itulah yang menang.

sepupuku datang: ayo pulang! ia sampaikan pesan ibuku, sekaligus ancaman akan dimarahi. tapi ayah yang menyambutku di pintu rumah, ibu masih menyiapkan makan sore di dapur. ayah tanya: darimana dan habis main apa. ia senyum dan tangannya yang mengelus pelan rambutku. aku tahu, ia tak marah.

aku ulur. ia mengudara. ku ulur lagi. angin membawanya terbang melesat. ku tarik. ulur lagi. ia semakin tinggi. aku melepasnya. bebas…(***)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline