Sama seperti yang lain, dalam keadaan seperti ini tentu saja Rainy juga tak luput untuk terkenang orang-orang yang dikasihinya. Satu-satu wajah papa, mama lalu adiknya Elizabeth melintas dipelupuk mata. Setelah itu kenangan akan saat-saat menyenagkan yang dilalui mereka. Tanpa sadar sebuah intimidasi dari sisi lain di hatinya mulai berupaya menyudutkannya, namun dengan tegas ia menggeleng. Tidak ini harus dilanjutkan. Aku percaya semua ini akan baik-baik saja, kata hatinya bersikukuh.
Sementara Daniel, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tak teratur. Sesekali ia mengacak rambut kepalanya. "Jadi bagimana sekharang? Ini benar benar kachau. Dan eee ini saya bingung karena semua orang jadi tidak percaya dan takut mengambil keputusan, dan saya sudah berada sangat jauh dari negeri saya dengan mimpi saya dan eee in my believe sekarang bisa hancur setengahnya," keluh Daniel tanpa sadar. Ia menuntup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Kegelisahan dan kekuatiran membuat ia uring-uringan dan mondar-mandir kesana-kemari lalu kembali duduk di samping Raiva.
Raiva terpaku. Tanpa menoleh kearah Daniel dia mulai merasa iba dengannya. Ia tak ingin pengrorbanan besar yang dicurahkan Daniel untuk misi ini hancur begitu saja. Dia juga tahu Daniel adalah orang yang gampang terpukul hati jika mendapat kendala sedikit saja. Itu yang ada dibalik sikapnya yang kelihatan begitu optimistis dan ambisius. Bagi Daniel, Misi ini adalah hidupnya. Ia sangat tahu Daniel telah meninggalkan sebuah proyek lainnya di Jerman dengan nilai kontrak yang fantastis, semua demi penelitian bernama Ekspedisi Ventira ini. Pokoknya sangat dipahami Raiva bahwa Daniel telah mempertaruhkan apapun yang ia miliki demi proyek Ventira ini. Jika misi ini tak dilanjutkan, ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Daniel. Hanya saja misi ini tak bisa dihentikan lagi. Ini sudah terlalu jauh. Dan ia sangat merasa sayang kepada Daniel.
"Mohon perhatiannya sekali lagi, rekan-rekan. Saya mewakili Daniel juga Rainy sangat berterima kasih atas kejujuran kalian akan keraguan kecil dihati kalian. Tapi, itu tadi. Saya tekankan sekali lagi, ritual keberangkatan kita nanti akan gagal total jika ada satu saja diantara kita yang dilanda perasaan ragu atau tak bisa fokus. Dan Daniel sebagai pemimpin dan pemilik proyek ini, ia telah menukarkan harga diri serta apapun yang dimilikinya untuk proyek ini. Jadi saya harap kita semua mengerti bahwa ini bukan pekerjaan main-main. Saya harap kita semua paham dan saya inginkan komitmen dari kalian semua sekarang juga. Bagaiamana? Saya ingin mendengar dari kalian dan mulailah mengatakan sesuatu tentang itu. Kalau kalian semua merasa berat dan ragu, itu berarti,,," Raiva menggantung perkataannya sesaat lalu mengawasi Rainy dan Daniel agak lama.
"Berarti apa Va?" kejar Rainy.
"Berarti kita bertiga akan tetap berangkat. Hanya kita, dengan hati murni dan penuh kepastian," ujar Raiva mantap sambil menatap Daniel tajam.
"Lho, koq begitu bicaranya Raiva? Aku kan tak pernah berkata kalau aku ragu, bimbang atau tak fokus hati untuk Ventira. Bahkan sejak pertama aku juga kan sudah mantap hati?" sembur Eva.
"Saya juga, mpok." Tukas Didin.
"Apalagi gua. Mana bisa ninggalin bos gua nyang cantik. Ya, kan Ibu Rai," Gurau Baim pada Rainy yang disambut ekspresi datar.
"Ya sudah kalau begitu. Maafkan Raiva ya. Ini hanya soal komitmen koq." Sahut Raiva.
Mendengar itu, rasa lega kembali menyarang dihati Daniel. Ia nampak manurunkan sepasang tangannya yang menutupi wajahnya yang tadi tanpak sangat tertekan dan kacau sekali. Bahkan diam-diam ia menemukan mata pria yang diam-diam disukainya itu berkaca-kaca oleh cairan bening. Kalau dalam keadaan seperti ini, Daniel yang meyebalkan terlihat sangat rapuh. Kecuekannya, keusilan dan kesemrawutan sikap kocaknya, semua itu segera berganti bayang kesedihan dan kekecewaan yang dalam. Untung saja komitmen Eva, Didin dan Baim sebagai tim awal mereka kembali mengusir kekecewaan kecil itu.