Lihat ke Halaman Asli

Achmad Faizal

Pengajar di MA Unggulan Nuris dan Ma'had Aly Nurul Islam Jember

Tragedi Penangkapan Pak Basri

Diperbarui: 17 Desember 2017   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: fokusislampicture/ ilustarsi ragam buadaya

Senyum itu setibanya merekah. Serasa merpati terlepas dari sangkar emas. Betapa tidak. Dua belas tahun abah terbelenggu di jeruji besi. Sekarang lega sudah. Meski terkadang masih tak habis pikir dengan manusia-manusia berseragam cokelat, hitam itu. Intel. Densus. Entahlah, bagaimana mungkin peristiwa itu bisa terjadi. Mereka memberondong rumah kami dengan peluru. Meneriaki kami, teroris! Ya, teroris!

*****

Tepat malam Minggu, pukul 19.00 WIB suasana hotel bintang lima ibu kota tampak ramai. Di ruang lobi utama, konon ada rapat anggota dewan. Haa, iya? Tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bahas. Di ruang auditorium 1 tampak pesta pernikahan anak seorang pejabat yang mempersunting seorang pengusaha asing, dari Amrik. Meriah sekali. Caf and resto di lantai delapan pun tak kalah ramai.

Di bagian tengah hotel, tepatnya di lantai sepuluh, tepian sisi kolam renang juga riuh tepuk tangan. Ada pesta ulang tahun anak kebanggaan sang pemilik hotel. Tetamu silih masuk berganti. Setiap bilik kamar hampir seluruh penuh di-booking. Tak pelak, area parkir sesak kendaraan. Semuanya adalah mobil bermerk internasional. Sementara itu, jalan raya tak jauh di depan hotel pun seperti berdesakan merayap, melaju. Di balik kaca setebal 5 cm di lantai tiga belas ini, aku mengawasi bingar lampu kota yang gembita.

Kenapa pula hotel ini selalu penuh malam Minggu begini? Apakah mereka pendatang dari luar kota untuk sekadar menginap? Atau kah musafir yang kebetulan lewat lalu rehat di sini. Ya, barangkali musafir kekinian semakin maju, lelah perjalanan mereka lampiaskan rebah di gedung mengilau berbintang. Tak seperti dulu. Ngaso sekenanya, di pinggir jalan, di teras toko, bisa juga di masjid. Hemm, mungkin pula mereka bosan selalu tidur di rumah? Besit pikirku. Ah, tahu lah. Aku juga masih di sini merasakan sayup-redup alunan musik yang entah dari mana asalnya. Seraya mengusap debu yang melekat di kaca, masih memperhatikan kedipan lampu merah  tak jauh di bawah, dari samping hotel.

Gedung ini tinggi sekali, bahkan seperti menyaingi langit. Tak heran, orang menyebutnya sebagai gedung pencakar langit. Di ketinggian ini, aku bisa melihat apapun. Pengemis yang mencegat setiap kendaraan berhenti di lampu merah. Pengamen yang menabuh musik belas kasihan. Di ujung perempatan jalan ke arah barat hotel itu juga kelihatan minimarket dan deretan ruko. Beberapa meter dari deretan ruko itu pula terdapat gerobak penjual kacang rebus, penjual martabak, aneka jajanan gorengan, dan kios-kios kecil penjual rokok serta bensin eceran. Ragam raut ibu kota ini seolah kuteropong  dari sudut elevasi 45 derajat. Aku masih berdiri jenjang memainkan imajinasiku yang membayang dalam retina malam ini.

Sejenak kumenoleh ke gagang pintu kamar seperti ada yang mengetuk. Aku pikir tamuku datang. Ternyata bukan. Mungkin suara dari kamar sebelah, entah mengapa. Kamar ini, aku hanya menumpang bukan untuk menginap, melainkan kebetulan aku menemui sahabatku sekampung atas permintaannya. Aku diminta menunggu kawannya, sebab sahabatku masih ada meeting di ruang lobi lainnya. Katanya seorang wanita. Berdebar dadaku. Apa yang akan kulakukan jika kawan wanitanya datang sebelum sahabatku datang. Ah, kenapa begini kejadiannya. Aku tidak ingin berurusan dengan kawan wanitanya itu. Inginku pergi dari bilik ini. Tetapi kunci kamar di genggamanku dan aku sudah dipasrahi menunggu. Lagipula kami belum sempat bercakap. Ketika aku datang ke kamar nomor 253 tiba-tiba ada seorang Office Boy menunggu di depan pintu memberikan kunci kamar dan menyampaikan pesan sahabatku itu. Bagaimana pula ini.

Sudah 55 menit aku menunggu sahabatku. Wanita itu pula juga belum datang. Syukurlah. Jika sahabatku segera datang bagus sekali. Tetapi jika wanita yang sama sekali tak kutahu bagaimana itu yang datang terlebih dahulu. Matilah aku. Aku tak biasa menerima tamu wanita di ruang seprivasi ini, di malam minggu pula. Bukan kamarku, bahkan bukan kawan wanitaku. Matilah aku, matilah aku, matilah aku, gerutu hatiku. Tubuhku serasa dingin menggigil. Di jidatku meleleh peluh anyep. Bapak, ibu, tolong aku. Mohon tolong aku. Hatiku bergemuruh sambil mondar-mandir di dekat dinding kaca setebal 5 cm ini. Aduh, bagaimana ini ya?  Tak keruan perasaanku.

Kugenggam telepon genggamku yang tadinya berada di meja dekat televisi. Apa aku harus menelepon sahabatku, tetapi dia sedang meetingdengan segenap direksi dari Jepang dan Cina. Aku takut mengganggunya. Karier sahabatku memang sedang moncer. Prestasi bekerja di perusahaan pertambangan sangat mentereng. Malahan, dia juga saat ini menjadi ketua majelis dakwah internasional. Luar biasa bukan. Terbiasa sudah dia mendapat tamu dari negara mana pun.

Sejak dia lulus kuliah di jurusan pertambangan Ohio University dua tahun lalu, dia langsung memeroleh pekerjaan dengan jabatan yang bergengsi. Gaji dan tunjangan supertinggi. Mobil mewah, rumah megah, dan tentu wanita cantik yang katanya kawannya sekarang ini. Lalu, jangan-jangan kawannya ini adalah orang asing pula. Haduhh, semakin kemelut pikiranku. Aku sama sekali tidak mampu berbahasa asing. Aku hanya lulusan sastra, itu pun sastra Indonesia. Tak begitu penting belajar bahasa asing. Semakin keder jika harus aku yang bertatapan dengan kawan wanitanya itu tanpa sahabatku.

Tiba-tiba telepon genggamku berdering pendek. Itu berarti ada pesan pendek. Ku teramat berharap pesan ini dari sahabatku. Terburu aku membacanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline