Lihat ke Halaman Asli

Matahari Emak (6)

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lalu aku beranikan diri untuk menyelam sambil menahan nafas tanpa dipegangi oleh Kakek. Ketika aku merasa tubuhku melayang, aku gerakkan kakiku seperti katak. Aku merasa tubuhku bergerak ke depan. Lalu kugerakkan lagi kakiku, dan tubuhku maju lagi. Ketika aku merasa nafasku habis, aku munculkan kepalaku ke permukaan air. Hampir saja aku tenggelam jika Kakek tidak memegang tanganku.

Kakek terkekeh, “nah, kamu sudah mulai bisa,” katanya. “Jika kamu ingin bernafas, munculkan kepalamu dan ambillah nafas sambil terus menggerakkan kaki dan tanganmu seperti katak yang berenang.”

Aku mencobanya. Mula-mula agak sulit. Tetapi lama kelamaan aku merasa senang, karena kini aku tidak lagi tenggelam. Aku dapat bergerak di air yang agak dalam. Mengambil nafas. Berenang. Wahhh senang bukan main.

Itulah hari pertamaku dapat berenang. Kakeklah guru renangku. Aku ceritakan semuanya kepada Nenek. Kakak dan adik-adiku mendengarkan ceritaku. Entahlah, apa mereka kagum atau iri, karena Kakek lebih dulu mengajari aku, sementara yang lain belum diajarinya.

“Tapi kamu hanya boleh berenang di sungai jika ada Kakek,” kata Emak.

“Kenapa ?”

“Supaya ada yang mengawasi dan membantu kamu kalau ada bahaya,” kata Emak lagi.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Emak. Memang acapkali aku mendengar kata-kata yang tidak aku mengerti dari orang-orang dewasa di sekelilingku. Ada lagi yang bilang kepadaku tentang hal-hal aneh di Sungai Banjaran.

“Ada miyangga yang hidup di Kedhung Kancil,” kata Lik Kirno.

“Apa itu miyangga ?” tanyaku.

Miyangga itu binatang sejenis ular, kepalanya ditumbuhi rambut yang panjang dan lebat. Kalau ada anak-anak yang berenang di sungai, dia akan mengejar dan mengikat kaki anak itu dengan rambutnya, lalu dibawa ke sarangnya di bawah batu padas besar di bawah pohon karet itu.”

Aku tidak tahu, apa cerita Lik Kirno itu benar atau tidak. Tetapi seram juga mendengar cerita itu. Meskipun demikian, aku tetap saja senang mandi di kali, terutama jika Kakek mengajakku menemaninya memancing. Dan aku selalu menceritakan pengalaman baru ketika berenang, sehingga lama kelamaan, kakak dan adikku ikut-ikutan menemani Kakek memancing. Biasanya kami berempat, Mas Tofik, aku, Hidayat dan Hadi yang ikut ke kali. Sementara Kakek memancing, kami berempat mandi-mandi di bagian lain sungai. Aku menirukan cara Kakek ketika mengajariku berenang kepada kakak dan dua adikku, sehingga lama kelamaan mereka pun pandai berenang.

Kini aku punya teman mandi di sungai. Tetapi yang sering sekali mandi di sungai adalah aku, Hidayat dan Hadi. Mas Tofik jarang ikut mandi di sungai, karena memang dia rajin belajar dan punya kegemaran lain. Sekali tempo, Mas Tofik melarang kami bermain di sungai, entah apa sebabnya. Sayangnya kami bertiga lebih sering pergi diam-diam, jika Mas Tofik sedang tidur siang. Dia memang tidak pernah melewatkan waktu tidur siang, sementara kami bertiga lebih sering bermain. Kadang-kadang di tengah hari, kami bermain bola di lapangan dekat rumah, sampai kulit kami terbakar dan badan jadi hitam. Bapak suka marah-marah dan biasanya lantas memandikan kami bertiga. Badan kami tidak hanya disabun, melainkan kadang-kadang di gosok dengan batu yang agak licin. Cara Bapak menyabuni badan kami terasa aneh. Keras dan lama. Kata Bapak “badan kalian hitam sehingga harus digêbêg”. Dalam bahasa local kami, digêbêg artinya digosok dengan keras untuk menghilangkan sesuatu yang menempel. Jadi maksud Bapak, untuk menghilangkan kotoran dan daki yang menempel di badan kami sehabis main sepakbola atau kasti di lapangan bersama teman-teman lain.

Tetapi Mas Torik selalu punya cara untuk menahan kami agar tidak banyak main, terutama supaya kami tidak pergi berenang ke kali. Aku tahu, sebenarnya Mas Tofik kesepian jika kami bertiga pergi bermain sementara dia ada di rumah. Dan cerita tentang miyangga itu menjadi senjata bagi Mas Tofik yang tidak mau ditinggal sendiri di rumah jika kami mau mandi-mandi di Sungai. Kadang-kadang selain cerita tentang miyangga dia juga bercerita tentang mahluk yang lain yang belum pernah kami dengar.

“Hari-hati kalau lewat kuburan dekat Sungai Banjaran,” kata Mas Tofik ketika kami bertiga sudah hendak pergi ke sungai.

“Memang kenapa ?” Tanya kami.

“Di pojok sebelah utara yang berdekatan dengan sungai itu ternyata sarangnya banaspati,” kata Mas Tofik.

“Banaspati ?”

“Apa itu ?”

“Banaspati itu hantu berujud api yang suka mengejar manusia, terutama anak-anak,” kata Mas Tofik.

Kami saling berpandangan. Ngeri juga mendengarnya. Maka kami pun tidak jadi pergi ke sungai. Kami hanya bermain-main di rumah, sementara Mas Tofik tidur siang dengan nyaman karena tahu adik-adiknya tidak pergi ke sungai. Walaupun suntuk juga berada di rumah, kami tetap tidak berani pergi ke sungai. Maka seringkali aku berpikir, harus ada cara untuk menghilangkan rasa bosan. Apa saja. Tetapi yang paling sering kami lakukan adalah memanjat pohon.

Di halaman rumah kami banyak ditumbuhi pepohonan. Yang paling banyak adalah pohon kelapa. Sayangnya, aku bukan pemanjat pohon yang baik. Aku bahkan cenderung penakut jika harus berada diketinggian. Tetapi adikku, Hadi, sangat berani dan pandai memanjat pohon. Dialah yang biasanya aku suruh untuk memanjat pohon kelapa dan memetik satu dua butir kelapa muda untuk kami buat minuman yang disebut rucuh. Kelapanya kami lubangi, kemudian airnya kami tuang ke sebuah panci atau rantang. Lalu isinya yang masih muda kami serut dengan sendok dan dimasukkan ke dalam air kelapa yang sudah kami taruh rantang atau panci. Ditambah gula jawa secukupnya dan diaduk, jadilah minuman yang lezat. Kadang-kadang ada teman-teman sepermainan kami yang bergabung dengan kami. Mereka umumnya pandai sekali memanjat pohon kelapa. Tetapi yang paling pandai adalah Sudir dan Siwer. Sehingga ramailah pekarangan di sekiling rumah kami dengan pesta minuman rucuh kelapa muda.

Tetapi gara-gara pesta itu pula kami bertiga pernah dihukum oleh Kakek, karena kami menghabiskan lebih dari sepuluh butir kelapa muda. Kakek memergoki kami dan teman-teman. Mendengar teriakan Kakek, teman-teman kami berlarian pulang. Kami bertiga pun ikut kabur. Taku dimarahi Kakek. Lalu kami bermain-main di rumah salah satu teman sampai sore. Pulangnya pun kami dengan cara mengendap-endap agar tidak diketahui Kakek. Sayangnya kami selalu gagal. Sepertinya Kakek tahu apa yang ada di pikiran kami, sehingga ketika kami sampai ke rumah hendak langsung mandi, ternyata kamar mandi kosong. Tidak ada airnya. Ketika kami kebingungan, Kakek muncul.

“Kalau mau mandi, isi dulu jedingnya,” kata Kakek tiba-tiba. Jeding adalah bak mandi dalam bahasa Banyumasan. Pada masa itu, bak mandi sangat besar. Kami harus menimba air dari sumur sampai seratus ember. Dan embernya pun bukan ember kecil, melainkan ember yang berisi hampir lima liter air, sehingga beratnya bukan main. Kami bertiga harus mengisi bak mandi itu sampai penuh.

Peluh kami berleleran ketika sejam kemudian bak mandi itu penuh. Kami menimbanya bergantian, sehingga ketika semuanya selesai, tidak saja badan kami basah keringat, tetapi juga perut kami terasa sangat lapar, karena sejak kami kabur dari kejaran Kakek, tak sesuap makanan pun masuk ke perut kami. Nenek menghampiri kami yang sedang kelelahan sambil membawakan krawu, makanan khas Banyumas yang dibuat dari singkong yang diiris-iris tipis dan direbus. Disajikan dengan kelapa parut, lezat sekali dimakan hangat-hangat. Maka sepiring krawu pun habis dalam sekejap. (bersambung)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline