Sebenarnya mengherankan juga, seorang Bapak mertua dan menantunya hampir berkelahi. Tetapi menurut Emak, Eyang Harun yang tidak lain adalah Bapaknya, adalah seorang lelaki yang sangat sportif. Dia tidak segan-segan meminta maaf untuk tindakannya yang keliru, walaupun terhadap anaknya sendiri. Aku tidak menyangsikan itu, karena aku adalah cucunya yang terdekat. Apa saja aku lakukan bersama Kakek. Jika musim layangan tiba, aku bermain laying-layang bersama Kakek. Aku yang menarik layingan menjauh, kemudian Kakek menerbangkannya. Jika sudah berada di ketinggian, aku boleh memegang benangnya, dan Kakek berdiri di dekat aku.
Kadang-kadang Kakek mengajakku mancing di kali. Mula-mula kebiasaan ini sangat menyenangkan. Aku dapat bermain air di bagian yang dangkal di sungai sebelum akhirnya Kakek memanggilku untuk membantunya mengurai tali pancingan -orang desaku menyebutnya senur- yang kusut. Kakek menyuruh aku memegang salah satu ujung dari tali pancingan itu, sementara Kakek berusaha untuk mengurainya. Mula-mula kelihatan baik-baik saja. Tetapi ketika tali itu makin kusut, Kakek mulai naik pitam, marah lalu mengambil korek api dan membakar tali pancingan itu.
Aku hanya memandang kelakuan Kakek. Ketika kemudian dia melangkah pulang ke rumah, aku pun hanya mengikutinya dari belakang. Langkah Kakek panjang-panjang sehingga aku harus berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan. Sampai di rumah, tidak ada yang berani bertanya hasil Kakek memancing karena melihat wajah Kakek yang kusut.
“Ada apa dengan Kakek,” tanya Emak sewaktu aku mengambil air kendhi dan meminumnya.
“Kakek marah, senurnya kusut,” jawabku sambil mengelap bibirku dengan lengan baju. Lalu tanpa mendengar lebih lanjut kata-kata Emak, aku kabur menyusul Kakak dan adik-adikku yang sedang bermain di pekarangan depan rumah.
Tetapi, gara-gara Kakek pula, aku jadi pandai berenang. Ketika itu, seperti biasa, Kakek mengajakku pergi memancing di kedhung Kancil kali Banjaran. Kedhung adalah bahasa Banyumas untuk menyebut bagian yang dalam dari sebuah sungai, atau lubuk dalam bahasa daerah yang lain. Aku duduk di samping Kakek yang memancing di atas batu cadas yang besar. Satu dua ikan sudah didapat. Besar. Tiba-tiba senur pancingan Kakek nyangkut di dasar sungai. Mula-mula, Kakek berusaha mengakali agar pancingan itu bisa lepas. Cukup lama tidak juga berhasil.
“Kamu yang nyelam sana,” perintah Kakek. Aku memandang Kakek. “Ayo cepat !” kata Kakek lagi. Aku menggeleng.
“Aku nggak bisa berenang, Kek,” sahutku.
“Anak laki-laki tidak bisa berenang. Memalukan,” ujar Kakek sambil mendorong aku ke air. Karena tidak bisa berenang, maka hanya timbul tenggelam di air seraya mulutku meminum air sungai. Mungkin Kakek sadar akan bahayanya sehingga dia kemudian terjun ke sungai dan mengangkat aku ke darat. Aku tidak berani menangis, takut Kakek tambah marah. Tangis itu kutahan jangan sampai pecah. Dadaku hampir pecah rasanya.
Tiba-tiba Kakek memeluk aku. “Maaf, maaf, Kakek lupa,” katanya berkali-kali. Lalu ia menggendongku pulang. Nenek marah pada Kakek demi melihat aku basah kuyup dengan tubuh menggigil. Hanya di pelukan Nenek aku berani menangis, sementara kakak dan adikku datang merubungku.
“Sudah, nggak usah nangis begitu,” kata Emak sambil mengeringkan kepala dan badanku dengan handuk. Aku sempat melihat Kakek duduk di halaman belakang rumah di bangku bawah pohon nangka. Tentu aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tetapi aku mendengar suara omelan Nenek.
Barangkali untuk menebus rasa berdosanya, suatu hari Kakek mengajakku ke kali. Tidak membawa pancing. “Kamu harus belajar berenang,” kata Kakek sambil berjalan agak cepat. Aku mengikutinya dari belakang. Sungai tempatku belajar berenang adalah Kali Banjaran, kira-kira limaratus meter arah timur rumahku. Sungai ini sudah tidak asing bagiku, karena di Sungai itu pula Kakek sering memancing. Ikannya banyak dan besar-besar. Tetapi kali ini, kami berdua ke sungai itu bukan untuk memancing.
Kakek sudah melukar baju dan hanya mengenakan celana pendek, lalu terjun ke air.
“Ayo. Turun,” katanya sambil berenang. “Jangan takut, Kakek akan membantu kamu.”
Aku pun memberanikan diri terjun ke air. Kakek memegang kedua tanganku sambil tetap berenang. Lalu dia membawaku ke bagian yang tidak begitu dalam, sehingga Kakek tidak perlu berenang. Dia dapat tetap berdiri di dasar sungai sambil memegangi aku.
“Gerak-gerakan kakimu di air seperti katak,” kata Kakek. Aku mengikuti saja perintah Kakek sambil berpegangan ke tangan Kakek. Sejurus kemudian, Kakek bilang “Coba sekarang kamu menyelam, tahan nafas selama kamu menyelam. Jangan bergerak-gerak. Diam saja”.
Aku pun melakukan apa yang Kakek perintahkan. Aku menyelam setelah sebelumnya kuhela nafas dalam-dalam. Aku benar-benar menahan nafas selama dalam air dan tidak menggerakkan badanku. Aku merasakan badanku seperti melayang di air, lalu punggungku muncul di permukaan.
“Apa yang kamu rasakan ?’ Tanya Kakek setelah aku muncul lagi ke permukaan air.
“Badanku seperti melayang dalam air, Kek,” kataku.
“Artinya, jika kamu berada dalam air, kamu jangan melawan,” Kakek menjelaskan. “Kalau kamu menahan nafas, maka badan kamu akan melayang dalam air. Lalu kamu gerakkan kakimu seperti seekor katak menggerakkan kakinya ketika berenang. Mengerti ?”
Aku mengangguk.
“Nah, sekarang cobalah,” ujar Kakek.
Aku pun mencoba sekali lagi. Menyelam. Menahan nafas. Ketika aku merasa badanku seperti melayang dalam air, aku gerakkan kakiku seperti seekor katak yang berenang. Begitu berulang-ulang, sampai aku merasa nyaman dengan gerakan itu.
“Sekarang, kamu coba lagi, tetapi Kakek tidak akan memegangi tanganmu,” kata Kakek. Aku agak ragu. “Jangan takut, Kakek akan mengikuti kamu.” (bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H