Lihat ke Halaman Asli

Sang Guru Sejati (4)

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adam memandangku. Dan lagi-lagi, aku merasa, akulah yang sedang memandang diriku sendiri.

” Apa yang kamu rasakan, Nak,” bisik Guru Sejatiku.

” Tiap kali aku memandang Adam, aku seperti memandang diriku sendiri, Guru,” sahutku.

Guru Sejatiku terkekeh. Dia membelai kepalaku, dan aku merasakan kelembutan belaiannya. Aku tidak dapat mengelak, keadaan seperti ini selalu aku rindukan. Belaian lembutnya dan kata-katanya yang terdengar merdu.

Pertemuanku dengan Guru Sejatiku sebenarnya merupakan keberuntungan paling besar dalam hidupku. Aku nyaris putus asa ditikam kegelisahan panjang, karena banyak sekali pertanyaan yang menggelayuti pikiran dan perasaanku untuk hal-hal yang bagi orang lain barangkali dianggap terlalu mengada-ada. Tetapi bagiku, pertanyaan itu adalah hal yang sangat penting. Misalnya aku bertanya tentang syahadat kepada para ustad atau kyai.

” Mohon maaf, Kyai, sebenarnya syahadat itu bagaimana ?” tanyaku.

” Syahadat itu merupakan pondasi iman seorang yang telah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”

” Sekali mohon maaf, Kyai. Apa yang Kyai kemukakan itu sebenarnya ucapan kalimat syahadat, atau memang persaksian dari seorang yang mengucapkan syahadat ?”

” Pertanyaanmu itu aneh, Nak,” sahut Pak Kyai sembari membetulkan duduknya.

” Kenapa, Kyai ?”

” Ya, karena tidak lazim hal seperti itu ditanyakan,” ujar Pak Kyai.

” Mengapa tidak lazim ?”

Pak Kyai memandangku.

” Kamu jangan main-main, Nak,” katanya kemudian.

Kini akulah yang memandang Pak Kyai.

” Aku tidak main-main, Kyai. Aku sungguh-sungguh ingin tahu, sebenarnya bagaimana caranya bersyahadat itu.”

” Ya, kamu tinggal mengucapkan saja dua kalimat syahadat itu,” sahut Pak Kyai. Kali ini terdengar ketus.

Aku sadar, Pak Kyai mulai marah. Atau setidak-tidaknya, emosinya mulai naik. Maka aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Sikap Pak Kyai yang seperti itu sudah dapat menjadi petunjuk bagiku bahwa dia pun belum tahu, sama seperti aku.

Tidak hanya satu dua orang Kyai dan Ustad yang aku jumpai untuk menanyakan bagaimana caranya bersyahadat. Aku tidak bertanya tentang apa itu syahadat. Karena jika aku menggunakan kata tanya apa, maka jawaban yang akan aku peroleh adalah definisi yang berupa untaian kata-kata. Padahal aku tidak memerlukan untaian kata-kata. Maka aku menggunakan kata tanya bagaimana supaya para Kyai dan Ustad yang aku temui itu memberikan contoh cara bersyahadat.

Sejak kecil, aku memang sudah diajari bagaimana menyampaikan pertanyaan cerdas, yang dengan pertanyaan itu, kita akan mendapatkan jawaban berupa cara atau praktek melakukannya.

Misalnya, ketika masih kelas nol (sekarang Taman Kanak-kanak), Ibu Guru mengajarkan nyanyian dalam bahasa Jawa : paman tukang kayu/ pripun solah ndiko masang paku/ paman tukang kayu/ pripun solah ndiko nggraji kayu dstnya. Lalu ketika aku sekolah rakyat (sekarang Sekolah Dasar) aku diajari nyanyian yang sama dalam bahasa Indonesia : paman tukang kayu/ bagaimana caranya menebang kayu, dan ada lagi tembang yang berisi jawaban atas pertanyaan bagaimana yaitu : kuambil bambu sebatang/ kupotong sama panjang/ kuraut dan kutimbang dengan benang/ kujadikan layang-layang.

Dan para guru kami, ketika itu pun, jika menyanyikan lagu-lagu itu diikuti dengan peragaan, sehingga anak-anak pun dapat menirukannya. Tidak hanya itu, bahkan mereka berani melakukan praktek itu membuat sendiri layang-layang, atau gangsing yang dalam bahasa dialek Banyumasanku disebut panggal, doran yang dalam bahasa dialek Banyumasan tempatku disebut walesan dari bambu untuk memancing ikan.

Kebiasaan bertanya seperti itu terus terbawa sampai tua untuk menyikapi sesuatu dengan sikap yang kritis. Aku jarang sekali bertanya dengan kata apa, karena aku tidak menyukai jawaban teoritis. Aku nyaris selalu bertanya dengan kata bagaimana atau mengapa supaya aku mendapatkan jawaban yang dapat aku praktekkan dan alasan yang masuk akal untuk suatu kasus.

Lebih dari itu, karena Kakek pun selalu menunjukkan kepadaku melalui contoh nyata. Misalnya, ketika aku masih kecil, dia yang mengajarkan kepadaku bagaimana caranya bertoharoh atau berwudlu dengan langsung praktek di padasan, bahasa lokal Banyumasan untuk menyebut keran air. Dimulai dengan doa, lalu satu demi satu membasuh anggota wudlu, dan ditutup dengan doa. Semuanya diberi contoh. Begitu pun ketika aku sudah disunat, Kakek yang mengajari aku bagaimana cara bersuci setelah buang air kecil. Dia menunjukkan caranya.

Ketika aku beranjak remaja, aku sudah mulai bertanya kepada Kakek tentang syahadat. Dia tersenyum memandangku.

” Kenapa kamu bertanya begitu ?” selidik Kakek.

” Lha, Kakek kan sering bilang untuk selalu memperbaharui syahadat setiap hari. Syukur-syukur setiap pagi dan petang,” sahutku.

” Kamu sudah melakukannya kan ?”

Yang kulakukan dengan melafalkan kalimat syahadat itukah syahadat ?”

Kakek tersenyum.

” Segala sesuatu ada waktunya. Tuhan berfirman ”Manusia selalu tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan tanda-tandaKu. Maka janganlah kamu minta kepadaku mendatangkannya dengan segera” (QS 21:37). Jadi, nanti pada waktunya kamu akan tahu jika kamu berusaha untuk mencari tahu.”

Ah, segala sesuatu ada waktunya, kata Kakek. Artinya, memang belum tiba waktunya bagiku untuk mengetahui kesejatian syahadat. Pernyataan Kakek ini selalu aku simpan, dan kuingat. Seiring bertambahnya usia, aku masih selalu menanyakan hal itu kepadanya. Kakek menyuruhku mendatangi Kyai atau Ustad untuk menanyakan hal itu. Maka pada waktu-waktu tertentu aku sering berkunjung ke berbagai pondok pesantren untuk mencari jawaban atas pertanyaanku. Tidak terhitung berapa banyak pondok yang aku datangi untuk bertakzim kepada para Kyai mencari kesejatian syahadat.

” Kakek,” kataku suatu malam ketika menungguinya di rumahsakit. Kakek terbaring sakit yang makin lama makin melemahkan fisiknya. ” Barangkali Kakek tahu, Kyai mana lagi yang harus aku sowani untuk mencari jawaban atas pertanyaanku.”

Kakek memegang tanganku. ” Sabarlah,” katanya, ” insya Allah kamu akan dapat menemukan jawaban itu pada waktunya nanti.”

Itu adalah kata-kata Kakek yang terakhir yang terus aku ingat. Karena, dua hari setelah itu, Kakek wafat. Aku tak kuasa menangis, hanya memandang wajah Kakek yang jernih seperti layaknya dia sedang tidur.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline