Lihat ke Halaman Asli

Sang Guru Sejati (7)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dia hanya seorang manusia biasa yang sama sekali tidak dikenal. Bahkan namanya pun tidak pernah akrab dengan telingamu, terutama jika kamu salah satu penggemar siaran keagamaan di televisi, atau pembaca buku-buku karya para ulama besar di dunia maupun di Indonesia. Dia benar-benar manusia biasa yang jauh dari hiruk pikuk dunia. Bahkan jika aku sebutkan pun, kamu pasti tidak akan pernah mengenal nama itu. Atau kamu pasti akan bertanya siapa dia ?

Itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh sahabat baikku, seorang yang bahkan di lingkungan kerjanya sama sekali tidak pernah mendapat apresiasi. Banyak teman-temanku yang heran, kenapa aku akrab dengan dia. Ada beberapa orang yang berusaha memengaruhi aku agar tidak dekat-dekat dengan dia.

” Bapak kan orang baru di sini,” kata orang itu. ” Daripada nanti Bapak terjebak, lebih baik jangan dekat-dekat dengannya.”

Ya, aku memang belum lama berada di kantor baruku di Bandung, karena oleh Direksi aku dipindah ke sini dari posisi lamaku di Purwokerto. Maka, layak orang-orang mengingatkan aku.

” Terimakasih,” jawabku.

Tetapi aku tidak ingin memutus pertemanan ini. Tidak hanya dengan dia, tetapi dengan semuanya saja yang ada di tempat baruku. Aku selalu ingat untuk merendahkan egomu, karena Kebenaran tidak akan datang kepada orang yang egonya menjulang tinggi menyentuh langit. Tuhan sudah menyatakan takabur adalah selengdangKu, barangsiapa merebutnya dariKu, maka murkaKu akan menimpanya. Takabur adalah sifat yang lahir dari ketinggian ego. Sedangkan ego akan tumbuh subur, jika orang membanggakan asal-usul, pangkat, jabatan, kekayaan, kekuasaan, kepandaian dan kekuatan pengaruhnya. Orang boleh memiliki semuanya, tetapi semuanya itu hanyalah aksesoris yang sekejap dikenakan untuk dilukar kembali jika waktunya telah tiba. Semuanya bukan untuk dijadikan kebanggaan, melainkan untuk diemban sebagai amanat Tuhan yang kelak harus dipertanggungjawabkan.

Nyatanya, aku memang menemukan ketulusan dengan cara pertemanan yang egaliter seperti itu. Justru dari teman-teman yang ”bukan siapa-siapa” inilah aku mulai menyadari bahwa memang benar Kebenaran itu datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Semula aku menyangka, Kebenaran itu hanya datang dari kalangan agamawan, para Kyai, Ustad, Romo, Pendeta dan sebutan-sebutan lain. Nyatanya, dari mereka aku bahkan hanya mendapatkan wacana, bukan praktek keagamaan yang menenteramkan. Sebab, mereka masing-masing membawa misi yang sangat sulit dipahami sebagai agama. Misalnya, mana ada agama yang mengajarkan kebencian, merusak properti orang lain, merusak tempat ibadah umat lain, menghujat para penganut faham dan keyakinan yang berbeda.

Dengan si bukan siapa-siapa ini aku merasakan keberadaanku sebagai manusia secara utuh. Aku dapat mengutarakan apa pun yang aku pikirkan maupun yang aku rasakan tanpa merasa takut disebut kurang ajar atau tidak sopan. Dari perbincangan itulah akhirnya aku mendapatkan setitik cahaya di ujung lorong gelap.

” Aku pernah melakukan banyak hal di masa lalu,” kataku. ” Apa saja yang diajarkan kepadaku dari para Kyai, aku kerjakan. Berbagai macam wirid dan hizib aku amalkan. Tetapi kemudian satu per satu aku tinggalkan.”

” Kenapa ?”

” Banyak peristiwa aneh yang sulit diceritakan,” kataku. ” Tetapi aku tahu, bukan hal-hal seperti itu yang aku cari. Bukan. Aku tidak ingin memperoleh ilmu kanuragan, supaya aku kebal berbagai macam senjata. Atau supaya aku dapat melihat alam jin. Atau aku menjadi penyembuh berbagai penyakit. Bukan. Bukan itu yang aku cari.”

” Lantas, apa yang kamu cari ?”

” Tuhan,” jawabku tanpa basa-basi.

Temanku memandangku. Lalu :

” Aku akan menemukan kamu dengan seorang pembimbing, atau penunjuk jalan yang dapat mengantarkan kamu pada apa yang kamu cari.”

” Sungguh ?”

Dia mengangguk.

” Kapan ?”

” Sabar,” katanya.

Aku tidak mendesak lebih lanjut. Dia sudah mengatakan kepadaku bahwa dia yang disebutnya sebagai pembimbing atau penunjuk jalan itu adalah seorang lelaki yang telah diberi rahmat olehNya dan yang telah diajariNya ilmu dari sisiNya (QS 18:65), seperti Khidr bagi Musa. Seorang yang jauh dari hiruk pikuk dunia. Seorang manusia biasa yang tidak membutuhkan popularitas, karena dia bekerja untuk Tuhan dan bersama Tuhan.

” Apakah dia yang disebut mursyid ?”

“ Kamu boleh menyebutnya apa saja,” sahut temanku. ” Kau boleh menyebut dia mursyid, guru, avatar atau sebutan apa pun. Baginya sebutan dari manusia itu tidak begitu penting, karena dia tahu untuk Siapa dia bekerja.”

Aku mengangguk.

” Apakah dia juga akan menyuruhku mengamalkan wirid, hizib yang panjang dan melelahkan ?”

Temanku tersenyum. Menggeleng.

” Nanti kamu akan tahu,” katanya.

Dan, aku nyaris tersedak air teh ketika suatu siang temanku datang ke ruanganku dan mengatakan, lusa aku dapat bertemu dengan dia.

” Benarkah ?”*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline