Aku menyangka Kang Doko mulai bosan, atau terpukul setelah menyadari dirinya belum masuk ke satu pun kategori orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Nabi bukan, belum juga dapat disebut sebagai shiddiqin, syuhada dan solihin setelah dia kuajak untuk menyelisik ayat-ayat Al Quran melalui terjemah Tim Penerjemah Departemen Agama RI.
Dua malam dia tidak tampak di masjid, Maghrib tidak kelihatan, dan Isya’ pun tak tampak. Isteriku bilang, ” apa tidak sebaiknya Bapak ke rumah Kang Doko,” sepulang salat Isya’.
” Kalau malam ini dia tidak datang, besok aku akan menyambangi Kang Doko,” kataku sambil mengajak isteriku makan malam, menikmati sayur lompong khas Banyumas yang selalu menyebabkan ketagihan, gesek layur goreng kiriman dari seorang teman di Cilacap, sambel terasi ulekan isteriku lengkap dengan lalapannya. Wah, ini adalah dinner mewah pensiunan di desa kecil, aku bergurau pada isteriku.
Aku baru saja duduk di kursi santai kesayanganku ketika kudengar suara Kang Doko dari luar, ” Assalamu’alaikum, Kajine.”
” Wa’alaikum salam,” sahutku sambil bangkit dari duduk. Melangkah menuju pintu sambil menyeret sandal. Wajah Kang Doko tampak agak sumringah ketika pintu kubuka. Ia menyalamiku, lalu – seperti kebiasaannya – cipika-cipiki, meniru istilah anakmuda.
” Ke mana saja, Kang, dua hari tidak kelihatan,” kataku sambil mengajaknya duduk.
” Yah, seperti saranmu, Ji, aku coba untuk merenungkan hasil pembicaraan kita beberapa hari ini,” katanya. ” Semakin aku renungkan dan semakin sering aku baca ayat-ayat yang kita bahas, ternyata memang benar, selama ini mayoritas manusia selalu menjadikan Al Quran untuk menilai orang lain, bukan menilai diri sendiri. Kalau kamu tidak menyadarkan aku, maka aku pun masih selalu berbuat seperti itu, Ji. Alhamdulillah, kamu mengingatkan aku.”
” Allah yang mengingatkanmu, Kang,” sahutku.” Kan yang kita baca itu adalah ayat-ayat Allah, firman Allah atau kata-kata Allah. Bukan kata-kataku, Kang. Jadi kalau kesadaran rohaniyah sampeyan terusik, yang mengusik itu pun Allah. Bukan siapa-siapa, Kang ?”
” Tetapi kenapa baru sekarang ya, Ji ?”
” Karena Kang Doko sudah mau jujur pada diri sendiri dan kemudian menundukkan ego. Kemarin-kemarin mungkin Kang Doko masih gigih membohongi diri sendiri dan merasa diri sudah beberapa kali khatam Al Quran sehingga merasa sudah mengerti, maka hati Kang Doko tidak terusik walaupun ayat-ayat itu dibaca keras-keras bakda salat maghrib dan subuh saban hari, Kang”.
Kang Doko manggut-manggut. Tampaknya ia mencoba untuk menyerap kata-kataku ketika aku memberitahu bahwa cara terbaik membaca Al Quran adalah membekali diri dengan keingintahuan yang kuat untuk memahami apa yang dikehendaki oleh Allah melalui ayat-ayatNya. Sehari semalam membaca satu ayat, mencermati terjemahan ayat dengan akal fikiran yang merdeka untuk menemukan kandungan yang tersirat dalam ayat itu jauh lebih bermanfaat, daripada membaca satu juz Al Quran tanpa dipikirkan maknanya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad saw menyatakan akal fikiran adalah sumber agamaku, dan pada lain kesempatan beliau mengatakan, tidak ada agama bagi orang yang belum mampu memerdekakan akalnya secara sempurna.
” Justru itulah, Ji,” celetuk Kang Doko, ” dua hari aku mencoba untuk menelusur kembali apa yang sudah kita lakukan sebelumnya. Ternyata, aku harus mengakui, kamu benar, Ji, aku harus jujur pada diriku, aku harus mampu merendahkan egoku, aku harus menggunakan akal fikiran anugerah Tuhan secara merdeka, dan aku harus bekerja keras untuk menemukan mutiara Al Quran. Kita sudah banyak dibantu oleh begitu banyak kitab tafsir dan terjemah. Tetapi terus terang, aku sependapat dengan kamu, aku memilih untuk membaca terjemahan, bukan tafsir, dan aku harus mencoba untuk memahami terjemah ayat itu dengan akal dan pikiran yang merdeka.”
” Dan hasilnya?”
” Aku datang sekarang, karena ada hal yang tiba-tiba menyentak, ketika kemarin kita berbicara tentang amal saleh. Dalam ayat yang kita baca jelas disebutkan barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh (QS 18:110). Aku renungkan benar ayat ini, sehingga aku berfikir bahwa amal saleh adalah laku atau cara untuk berjumpa dengan Tuhan. Apakah kesimpulanku itu salah, Ji ?”
Aku tersenyum. ” Kang,” kataku, ” itu namanya sampeyan sudah menggunakan akal fikiranmu dengan merdeka. Aku tidak akan menyalahkan atau membenarkan kesimpulanmu, Kang.”
” Lho ?” Kang Doko tersentak kaget.
” Ya, karena segala sesuatu itu melalui proses, Kang. Mula-mula Kang Doko membaca ayat itu, lalu merenungkannya, memikirkannya dengan pikiran merdeka, kamudian menyimpulkan. Nah, sampeyan sudah melewati proses yang semestinya. Tetapi itu belum selesai, Kang.”
” Belum ? Maksudmu ?”
” Ya, karena mata rantai proses itu harus sampai pada pembuktian. Ingat, Kang Nabi Ibrahim as melalui proses pencarian dan akhirnya menemukan Tuhan. Nabi Musa as juga melakukan hal yang sama. Nabi Muhammad saw sampai 15 tahun melakukan tahanuts di Gua Hira. Semua itu adalah upaya mereka untuk menemukan Tuhan, karena umat para Nabi memiliki konsep tentang tuhan yang salah di mata para Nabi. Nah, bagaimana mereka dapat memberitahu bahwa konsep mereka salah, jika para Nabi tidak memiliki konsep pembanding yang benar dan tak terbantahkan ?”
Kang Doko masih tampak ragu. ” Apa Tuhan dapat dijumpai, Ji ?”
” Itu yang aku maksud sebagai proses berikutnya, Kang. Artinya, sampeyan masih harus melanjutkan perjalanan. Kang Doko harus berjuang dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Itu yang namanya jihad fi sabilillah. Jadi, jangan menyerah. Teruskan perjalanan, karena aku akan terus menemanimu, Kang.”*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H