Lihat ke Halaman Asli

“Bagaimana Pandangan Kearifan Lokal Sunda Terhadap Permasalahan Banjir?”

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Banjiiirrr banjiiirrr!!!!” Kayaknya orang Indonesia udah akrab banget deh ama istilah Banjir. Tiap kali hujan deras dikit aja pasti langsung banjirrrr. Bahkan banjir merupakan salah satu peristiwa menyenangkan bagi anak-anak dibeberapa wilayah di Jakarta (karena bisa main air,”horeee”). Oleh karena itu tidak heran jika peneliti Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Muhammad Aris Marfai mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara yang paling rawan dan paling sering dilanda bencana banjir, setelah India dan China. Lalu, bagaimana mengatasi permasalahan banjir ini? Apakah dengan membersihkan selokan dari sampah? Apakah dengan memperlebar saluran air? Jawabannya iya, akan tetapi kurang tepat loh,hehe. Penyebab utama terhadap permasalahan banjir adalah kurangnya daerah resapan air. Pembangunan yang semakin membabi buta menjadikan alih fungsi lahan, yang asalnya tanah untuk resapan berganti menjadi beton-beton jumlahnya semakin meningkat tak terkendali. Paradigma pembangunan drainase yang berkelanjutan adalah menahan air selama-lamanya di hulu, bukan paradigm Belanda dulu yang konsepnya adalah mengalirkan air secepat-cepatnya ke hilir (makanya dibuat saluran air yang besar-besar). [caption id="attachment_170372" align="alignnone" width="300" caption="Wangsit Dari Leluhur untuk masyarakat SUnda dalam menjaga Alam nya"]

13325181211650475949

[/caption] Bagaimana pandangan para leluhur kita, terutama masyarakat Sunda yang sangat terkenal dengan kearifan lokal nya terhadap pengelolaan cai (air). Salah satu pandangan masyarakat Sunda adalah “Leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak ” (Hutan rusak, air habis, rakyat sengsara). Ayo,coba apa maksudnya? Bahkan asal kata ”Sunda” sendiri (orang sunda sendiri banyak yang ga tau loh!) berasal dari kata “SUN DA HA”, yang mengandung arti SUN adalah Diri, DA adalah Alam dan HA adalah Tuhan. Artinya kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi tiga ranah (domain) tempat kearifan lokal itu berlaku. Ranah pertama adalah ”DIRI”, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia; kedua, ”ALAM”, yaitu hubungan manusia dengan alam; dan ketiga ”TUHAN”, hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta. Jadi kaitannya adalah Leuweung (Hutan), sebagai suatu ekosistem di alam yang memiliki banyak fungsi, terutama fungsi serapan air, ”KUDU” (Harus) pisan dijaga oleh masyarakat Sunda itu sendiri. Hal ini dikarenakan air merupakan DASAR utama kebutuhan manusia, dan tanpa air manusia akan sengsara. Selain itu, semakin tingginya debit air hujan yang tak terserap, akan mengalir ke daerah hilir. Banjir di daerah Bandung Selatan, dan juga di Jakarta yang selalu terjadi saat musim hujan, penyebab utamanya adalah semakin kritisnya daerah hulu, Kawasan hulu Bandung Utara, dan juga kawasan BOPUNCUR (Bogor-Puncak-Cianjur). Lalu bagaimana pandangan masyarakat Sunda terhadap pembagian tata ruang wilayah. Dalam menentukan tata ruang wilayah, masyarakat sunda berpedoman kepada DAS (Daerah Aliran Sungai). Pemetaan titik-titik mata air beserta aliran sungai kemudian dihitung berdasarkan kebutuhan dan disesuaikan dengan kondisi dari wilayah atau kawasan tersebut. Berdasarkan pemetaan dan pengamatan di kawasan dengan pendekatan kearifan lokal Sunda ini maka akan didapat berapa luasan hutan yang dijadikan sebagai Leuweung Larangan/Titipan, Leuweung Tutupan , dan Leuweung Baladahan . Leuweung larangan dikenal juga sebagai kawasan lindung.

Leuweung larangan dan leuweung tutupan merupakan suatu kawasan yang tidak boleh dirubah dan diganggu gugat dari keadaan asalnya, baik habitatnya maupun sistemnya. Wilayah ini diperuntukkan sebagai zona penyedia kebutuhan pelestarian sumber kehidupan. Lalu daerah mana yang boleh digarap oleh manusia? Leuweung Baladaheun lah yang menjadi pusat aktivitas keduniawian masyarakat. Wilayah ini berfungsi Sebagai pusat produksi dan ekonomi masyarakat (pemukiman, perkebunan, pertanian, perikanan, dll). Upaya pengendalian daerah lindung tersebut menjadi tugas bersama kita, terutama masyarakat lokal yang berada disekitar daerah larangan tersebut. Masyarakat lokal tersebut perlu diingatkan untuk menjaga daerah larangan tersebut karena merupakan amanah/titipan dari para leluhur untuk terus melestarikan “budaya” Sunda untuk keberlanjutan hidup manusia. Pemerintah pun perlu mendukung penerapan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, melalui kebijakan yang tegas agar kepentingan pribadi dapat mengorbankan kepentingan bersama, bahkan mendatangkan bencana untuk kehidupan masyarakat banyak. Jika semua dapat terwujudkan, tentunya bencana seperti banjir, krisis air, longsor, dan lainnya akan dapat ditanggulangi untuk keberlajutan hidup manusia Dan satu hal yang paling penting buangeett.. Ternyata Kearifan lokal kita sangat lah luar biasaaa.. Banyak yang harus kita eksplor lagi nih tmen2 terkait kebudayaan kita..Yang jelas, kita harus bangga dengan kebudayaan bangsa kita sendiri. Jangan sampai kita generasi muda melupakan kebudayaan bangsa kita sendiri. Sehingga bangsa kita kehilangan jati dirinya.. Bangsa kita memiliki budaya nya sendiri,,budaya itu adalah kebiasaan kan? tapi kebiasaan kita udah berorientasi terhadap budaya asing,,budaya saat ini hanya dikenal sebagai kesenian belaka, musik belaka, bukanlah menjadi suatu kebiasaan masyarakat kita.. Akankah budaya kita hilang ditelan zaman?? Akankah budaya kita tergantikan oleh kebiasaan buruk dari luar sana? Sumber Informasi : Yayasan Pangasuh Bumi & Dewan Pemerhati Lingkungan Tataran SUnda (DPKLTS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline