Lihat ke Halaman Asli

danisworo

Mahasiswa

Kedaulatan Energi dan Pangan di Indonesia dalam Persaingan Global Ditinjau dari Geopolitik, Geoekonomi, dan Geostrategi

Diperbarui: 13 Oktober 2020   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi geografis yang strategis memiliki pemikiran geopolitik, geoekonomi dan geostrategis yang kompleks.

Secara geografis, Indonesia diapit oleh dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan dua benua (Benua Asia dan Benua Australia), membuat Indonesia kemudian menjadi suatu wilayah tropis yang proporsional dengan keberagaman hayati. Sumber daya alam yang melimpah juga dimiliki Indonesia seperti emas, mineral, minyak, dan batu bara. 

Kondisi tersebut memaksa Indonesia kemudian tidak hanya memiliki geopolitik, geoekonomi dan geostrategi untuk mempertahankan eksistensinya, tapi juga menjadi target geopolitik banyak negara di seluruh dunia yang mengimplementasikan kepentingan tertentu pada Indonesia.

Salah satu dari sekian banyak yang menjadi obyek sasaran dari sebuah kepentingan antar negara yaitu permasalahan kedaulatan energi dan pangan. Kebutuhan akan energi dan pangan secara berdaulat adalah merupakan basic needs human being yang mutlak menjadi prioritas bagi Kepentingan Nasional negara manapapun, dimanapun dan kapanpun.

Karena ketika sebuah bangsa mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedua unsur tersebut tanpa KETERGANTUNGAN dari pihak atau negara lain (impor), maka negara itu pantas disebut sebagai negara AUTARKY atau self sufficiency seperti halnya Kanada, Rusia, dll. Autarky ialah swasembada serta keadaan negara berkecukupan dimana ia bisa memenuhi food and energy sendiri bagi kebutuhan rakyatnya.

Indonesia secara geoekonomi bila dilihat dari dua unsur kebutuhan hidup tersebut (food and energy) dari jumlah penduduk yang ada sekitar 240-an juta hinga kini masih memiliki ketergantungan melalui impor. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat bagaimana neraca perdagangan Indonesia yang mencatatkan defisit tertinggi sepanjang sejarah, yakni USD 8,57 Miliar.

Penyebab utamanya lagi-lagi defisit migas, karena negara masih bergantung pada impor. Tidak hanya itu, lonjakan impor pangan juga turut menyumbang tekornya neraca perdagangan. Dari sini dapat terlihat dengan jelas apabila secara geoekonomi dengan adanya impor pangan dan energi jelas menggerus devisa negara dan mengakibatkan terjadinya defisit APBN.

Ini contoh sederhana tentang 'realitas kembar' antara geopolitik dan geoekonomi. Jadi penerapan prinsip geopolitik bisa dilakukan dengan cara menguasai dan mengontrol ekonomi negara tersebut sekaligus melemahkannya sehingga anasir geopolitik negara itu dapat dengan mudah dikendalikan.

Dari contoh abstraksi ini dapat dipahami secara internal (defensive) atau eksternal (offensive) karena bila merujuk kepada data empiris terkait konflik global bisa dilihat bahwa perilaku geopolitik Barat bersifat offensive (menyerang), sedang perilaku geopolitik Timur (baca:Indonesia) cenderung defensive aktif, atau bertahan namun akan menyerang balas bila diserbu oleh lawan.

Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan sendiri mengapa antara geopolitik, geostrategi dan geoekonomi itu 'satu tarikan nafas'. Dengan kata lain, tanpa geostrategi akurat yang berbasis geopolitik, maka geoekonomi kita akan senantiasa mengalami ketergantungan, ketergantungan dan ketergantungan tidak berujung.

Pertanyaannya sekarang, "Bagaimana geostrategi Indonesia dalam menghadapi ketergantungan pangan dan energi selain impor?" jawabannya hampir tidak ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline