Lihat ke Halaman Asli

Farhan Zahid

Mahasiswa penulis

Konsep Pertumbuhan dan Kesejahteraan dalam Islam

Diperbarui: 25 Maret 2022   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pertumbuhan memiliki beberapa faktor pengukur. Namun, terkadang ada beberapa pertumbuhan yang hanya statistik sederhana yang manfaatnya belum tentu dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Terkadang Indikator-indikator itu pula yang sering dikejar oleh pemerintah sehingga seolah-olah negara mendapat Penghargaan "A" Penghargaan "B" padahal rakyat menderita di dalam negeri sendiri. Hal ini juga dapat dilihat di kasus minyak goreng yang sedang trending akhir-akhir ini.

Sistem ekonomi konvensional menjadi makin populer dan "mendewakan" kebebasan sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Namun, dalam perjalanannya, sistem kapitalisme gagal menciptakan pemerataan dan keadilan pembangunan, sehingga menyisakan ketimpangan yang semakin jauh antarindividu, kelompok, wilayah, bahkan antar negara khususnya negara maju dan negara berkembang.

Islam mengatur mengatur ekonomi umatnya dengan sedemikian rupa, khususnya dalam hal kemiskinan. Banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan, di antaranya karena kurangnya distribusi ke kaum yang membutuhkan sehingga mereka terjebak di tempat yang sama Untuk itu, Islam memberlakukan kewajiban untuk membayar zakat sesuai peraturan agar distribusi tersebut berjalan, dan anjuran berinfaq dan bershadaqah sesuai dengan kemampuan sebagaimana yang dulu sahabat nabi lakukan. Mereka bukan lagi sekedar berinfaq "sesuai kemampuan", akan tetapi telah mencapai tahap berinfaq yang melebihi orang biasa. 

Dalam kajian ekonomi Islam, persoalan pertumbuhan ekonomi telah menjadi perhatian sejak dulu oleh para ahli dalam pemikiran ekonomi Islam. Islam mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan yang terus-menerus dari faktor produksi yang benar dan mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia. Dengan demikian, maka pertumbuhan ekonomi menurut Islam merupakan hal yang penuh dengan nilai. Suatu peningkatan yang dialami oleh sebuah faktor produksi tidak melulu dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi jika produksi tersebut misalnya malah memasukkan hal-hal yang terbukti memberikan efek buruk dan membahayakan bagi kehidupan manusia (Muttaqin, 2018). 

Pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Islam harus memasukkan aspek moral agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya diorientasikan kepada kesejahteraan materi saja melainkan memasukkan juga aspek ruhaniyah. Aspek ruhaniyah ini dalam pandangan Islam tidak akan menimbulkan masalah secara sudut pandang matematis, karena sifatnya yang abstrak. Sekalipun ditinjau dari sudut pandang ilmu ekonomi neo-klasik, yang dioptimalisasikan bukanlah sekedar banyaknya konsumsi akan tetapi "nilai guna" yang berkaitan dengannya, yang hal tersebut adalah kualitas yang tidak berwujud.

Selanjutnya, maksimalisasi tingkat pertumbuhan pendapatan nasional perse, tanpa mempedulikan dampak yang dihasilkan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan semua, tidak dapat menjadi tujuan utama dalam perekonomian Islam. Dalam ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi yang diingkan adalah pertumbuhan optimal, baik dari kesejahteraan materi maupun rohani, Islam tidak memperkenankan penggunaan modal dan pertumbuhan yang melampaui batas yang memaksakan pengorbanan-pengorbanan yang tidak sehat dan alami bagi manusia. Jadi, menurut Islam, tingkat pertumbuhan yang rendah tetapi diiringi dengan distribusi pendapatan yang merata akan jauh lebih baik daripada tingkat pertumbuhan yang tinggi tapi tidak dibarengi dengan distribusi yang merata kepada semuanya. Namun, yang lebih baik dari keduanya adalah pertumbuhan yang tinggi tanpa mengorbanan hal yang tidak alami dari manusia serta disertai dengan distribusi pendapatan yang merata (Abidin 2006).

Dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama dalam kegiatan ekonomi yakni, Pertama: Islam melarang satu pihak mengeksploitasi pihak lain. Adab dan etika sangat dijunjung tinggi serta kedermawanan hati nurani sangat dihargai dalam berkegiatan ekonomi. Islam memiliki prinsip bahwa sebanyak apapun harta yang didermakan, Yang Maha Kaya menjamin bahwa harta seseorang tersebut tidak akan berkurang. Kedua: Islam melarang diskriminasi dan mendorong inklusivitas. Islam memandang bahwa umat manusia bagaikan satu tubuh. Oleh sebab itu, setiap manusia memiliki hak, kewajiban, dan derajat yang sama dalam lingkup sosial ekonomi, yang membedakan hanyalah tingkat keimanan dan ketwaaanya kepada Allah SWT. Begitu pun dalam pandangan hukum, setiap masyarakat ekonomi memiliki hak dan perlakuan yang sama dalam setiap kegiatan ekonomi, selama hak itu tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang ada (Suardi 2020). 

Kesejahteraan itu bisa diusahakan di manapun, namun cara mengusahakan tersebut haruslah berdasar pada etika dan tanggung jawab, seperti tercantum pada Al Araf ayat 10

   

 10. Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Terlihat jelas bahwa sebenarnya kesejahteraan itu bisa dicari dan ditemukan di segala penjuru Bumi. Namun, kebanyakan dari kita lebih sering rakus dan tidak bersyukur sehingga mencari cara yang haram ataupun berlebihan mengeksploitasi demi memenuhi kebutuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline