Lihat ke Halaman Asli

Anak Semua Bangsa, Anak Kata-kata

Diperbarui: 17 Februari 2017   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Dimana pun, ada yang mulia dan jahat… Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu.” Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa, ditulis tahun 1975.

Baru saja saya menamatkan cerita novel karya Pram yang kedua dari tetralogi karyanya yang ditulis semasa pengasingan di Pulau Buru, Anak Semua Bangsa. Entah sebab apa seorang jenius berkata-kata seperti Pram diasingkan, mungkin karena menyinggung peradaban, kekuasaan, rezim atau apapun itu. Tapi yang pasti Pram telah menggunakan kata-kata sebagai senjata perlawanan terhadap penindasan.

Saya tak ingin lebih jauh membahas soal Pram dan kisahnya, bisa kita bahas lain waktu. Pemikiran saya malah jauh terhenyak tentang sejarah silam dan masa depan yang kelam, hari ini pun tak cukup mendalam. Kita tak pernah mengenal bangsa kita sendiri.

Pram menulis jauh diatas kesadaran seorang anak bangsa dalam menjalani melankolia sekat gelap labirin berfikirnya. Ada cerita tentang penindasan, perampasan, penumpasan dan semua dikemas dalam satu terminologi, “penjajahan”. Saya pun tak memahami sejak kapan kata penjajahan diperkenalkan kepada saya, ketika mengenyam pendidikan di sekolah formal kah, atau mendengarnya dari lingkungan yang jauh bersandar pada buku bacaan mengenai kesejarahan. Toh, istilah penjajahan masih juga saya temui ketika memasuki bangku perkuliahan.

Tak ada yang berubah, penjajahan adalah soal kepedihan dan drama yang tragis dari satu bangsa kepada bangsa lain. Saya mengenal penjajahan adalah perlawanan fisik, perang yang tak berimbang ataupun pendudukan wilayah yang dilakukan militer suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Negara dunia ketiga seringkali mengalami hal ini karena dianggap terbelakang dalam segala aspek kehidupan.

Luka fisik dan berjatuhnya korban barangkali tidak seberapa dibanding penanaman pakem dalam benak maupun daya fikir pribumi mengenai paradigma budaya bangsa pasca lepas dari era penjajahan. Memandang kulit putih sebagai ras unggulan dan bangsanya sendiri dianggap sebagai ras sampah yang sama rupa dengannya. Keterkucilan menjadi paradigma sesat atas trauma penjajahan mental ratusan tahun itu.

Sejak membaca buku sejarah pula, yang saya pahami dari sejarah penjajahan adalah perang demi perang yang dikobarkan pribumi terhadap bangsa asing, Belanda saat itu. Jauh mengenai latar belakang peristiwa adalah soal pertanyaan dikemudian hari, dan saat kita tersadar, kita merasa sudah jauh untuk kembali pada dasar kebangsaan kita yang dirobek dan dicabik sedemikian rupa oleh penjajahan yang tak kunjung mereda.

Memanglah tak ada bangsa yang mampu memahami bangsanya sendiri kecuali negeri timur jauh menurut Eropa, yaitu, Jepang dan Cina. Prancis dengan kebanggaannya mengibarkan semboyan Revolusi Prancis tentang kebebasan, persamaan dan persaudaraan, hingga kini saja harus jatuh tersungkur kala melakukan pembatasan tak beradab pada kemanusiaan dalam menghadapi muslim di negerinya.

Tak ada sejarah penjajahan bagi negeri yang memiliki keengganan bersimpuh di hadapan Eropa maupun Amerika. Jepang melaknat siapa saja yang berkhianat terhadap bangsanya, apalagi sampai menghamba pada Eropa dan Amerika. Zaman dulu, mereka rela melakukan harakiri (bunuh diri) jika terjadi.

Cina apalagi, mereka bangsa yang memiliki dasar kuat terhadap kebudayaan dan kebangsaan. Sejarahnya diisi oleh dinasti peradaban yang gemilang dalam berbagai bidang, pun seringkali mengalami perang saudara, mereka tak ubahnya Pasundan kala bersatu dengan Jawa, bersatu dengan gengsi dan keengganan akibat masa lalu.

Mengutip apa yang pernah dikatakan Indra. J Piliang, negeri timur (Jepang dan Cina) melindungi dasar kebangsaan dengan aksara. Butuh waktu banyak memahami aksara negeri-negeri itu, apalagi mempelajari dan bahkan mencoba lakukan invasi kebudayaan pada mereka. Mereka menutup bangsa asing dengan perlindungan berlapis pada keinginan belajar terhadap bangsa mereka. Justru sebaliknya, bangsa timur itu yang belajar ilmu pengetahuan tanpa keinginan untuk menghamba, namun keinginan mensejajarkan bangsanya dengan ras yang dianggap unggul di dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline