Telah usai munaslub Partai Golkar pada bulan Juni lalu, mengakhiri perkara konflik yang timbul akibat buah petaka hasrat manusia. Munaslub sebagai forum pengambilan tertinggi di Partai Golkar menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh berbagai pihak, Internal maupun eksternal. Terdapat 2 keputusan penting yang ditorehkan para ksatria laskar kuning di forum Munaslub tersebut. Yakni, memutuskan Bapak Setya Novanto sebagai ketua umum terpilih dan juga memutuskan untuk merapat ke pemerintahan Jokowi-JK dengan menyatakan dukungan kepada pemerintah serta menjadi partai koalisi di parlemen. Saya sebut ini rekonsiliasi paripurna dari sebuah konflik politik yang hampir saja menenggelamkan Partai tua ini ke tinta para sejarawan, agar hanya dicatat keberadaannya yang pernah mengisi tahun-tahun jejak perpolitikan bangsa Indonesia. Namun hal tersebut dapat terhindar. Saya yakin kalau urusan meretas konflik, Partai Golkar memang telah terlatih sejak keruntuhan orde baru pada masa reformasi 1997 silam.
Memang partai Golkar selepas orde baru runtuh telah banyak berjibaku dengan konflik, seolah para kader partai pun ikut merayakan kebebasan ala reformasi di dalam partai ini. Kebebasan yang tak dinyana malah justru menimbulkan turbulensi hebat sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali Partai Golkar, sebagai salah satu stake holder dari bangsa ini.
Peralihan dari masa orde baru menuju reformasi dan lantas menjadi sebuah bangsa yang meneguhkan demokrasi secara utuh memang membutuhkan waktu dan guncangan-guncangan akibat adanya perbedaan persepsi di ruang-ruang diskusi. Namun hasilnya mampu menetramkan batin berbagai pihak yang berseteru akibat persepsi itu. Ini merupakan pembelajaran bagi semua, pembelajaran yang paling berharga soal menjejak identitas dan arah politik secara progresif.
Setengah Abad lebih Partai Golkar berkarya, memberikan sumbangsih pada lingkup-lingkup terkecil kehidupan masyarakat Indonesia yang madani. Akar beringin ini secara kuat menopang fundamentalisme kehidupan Bangsa Indonesia demi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dan terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil makmur. Kini pernyataan dukungan kepada pemerintah bagi kader partai golkar merupakan sebuah keharusan, setelah sebelumnya pada pilpres 2014 lalu mengusung pasangan Prabowo-Hatta, sekarang rindangnya beringin berbalik arah untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan keluar dari koalisi merah putih (koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta).
Pernyataan dukungan terhadap pemerintah ini merupakan representasi dari karya kekaryaan yang menjadi nilai hidup lagi perjuangan partai golkar, dukungan terhadap pemerintah juga bermaksud untuk menisbahkan cita-cita luhur segenap rakyat Indonesia. Jargon suara rakyat adalah suara golkar menjadi dasar dari alibi dukungan terhadap pemerintah. Menurut ketua umum, Setya Novanto, mendukung pemerintahan karena suara kader dan rakyat yang menginginkan golkar juga ikut ambil andil dalam pembangunan dewasa ini dengan cara masuk ke dalam pemerintahan.
Sementara itu, penegasan dukungan terhadap pemerintah rencananya akan dilakukan pada forum Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional) dalam waktu dekat ini. Menurut kabar yang beredar, dukungan kepada pemerintah bukan hanya saat periode Jokowi-JK saja namun Partai Golkar bertekad untuk mendukung Jokowi pada pilpres 2019 nanti. Banyak suara yang mendukung namun tak sedikit juga suara sumbang coba menentang. Apapun itu tak boleh lagi ada perpecahan bagi partai golkar.
Lantas kenapa dukungan untuk pilpres 2019 diberikan secepat ini ? Bagaimana hitung-hitungan politik partai Golkar ? Sudah kehilangan figure kah partai golkar sehingga secara genit mengambil start untuk mendukung Jokowi ? Atau ini cara berlebihan dari golkar untuk memasukkan kadernya di pemerintahan?
Berbagai pertanyaan menyeruak dari internal partai maupun pihak luar yang memperhatikan gerak langkah partai golkar. Bagi penulis ini adalah hal lumrah. Tentu politisi kawakan seperti ketua umum golkar, Setya Novanto, lebih memahami strategi apa yang paling mumpuni untuk dapat meningkatkan elektabilitas suara golkar pada pemilu 2019. Merunut pada hal tersebut bagi penulis ini merupakan strategi jitu dari seorang Setya Novanto yang juga adalah seorang pengusaha dan pelobi ulung.
Suara partai golkar saat ini terjerembab ke satu digit, menurut berbagai survey, jika pemilu dilakukan hari ini maka partai golkar hanya akan bercokol di urutan ke 4 atau ke 5 dengan perolehan suara 7-9%. Oleh sebab itulah dibutuhkan langkah taktis dan strategis untuk menaikkan suara golkar pada pemilu yang akan datang. Penulis menilai, Setya Novanto dalam hal ini coba untuk melakukan strategi marketing dalam hal meraih pangsa pasar dalam jagat perpolitikan tanah air.
Golkar menurut kacamata penulis ingin diposisikan sebagai follower dari produk yang unggul di masyarakat yakni Jokowi yang merupakan kader dari PDIP. Jika kita melihat dalam teori marketing yang konservatif maka dapat disimpulkan jika PDIP merupakan market leader dari seluruh partai yang ada. PDIP merupakan partai yang memiliki pangsa pasar terluas dan konsumen terbanyak saat ini. Untuk mengalahkan sang market leader butuh waktu yang tidaklah sebentar, kecuali ada fenomena butterfly effect sehingga membuat konsumen politik berlarian keluar jalur dan analisis yang ada meleset jauh.
Dalam teori marketing, kelas atau strata paling aman untuk merebut konsumen adalah dengan menjadi follower atau pengikut dari market leader. Alasannya adalah, ketika mengembangkan strategi yang sejajar dengan market leader, kelas follower akan mendapatkan banyak pasar/konsumen dari market leader dalam kasus golkar adalah elektabilitas. Mengapa demikian ? Pada prinsip yang diterapkan follower terhadap market leader terdapat beberapa poin yang menjadi keuntungan. Diantaranya adalah, mampu memanfaatkan kegiatan promosi market leader, minimal resiko serangan dari persaingan yang kompetitif dan tidak membuang energy secara materi di awal akibat pertempuran dengan market leader.