Riuh redam saut suara menggema, dibalik gaduh singgasana kekuasaan. Bertabuh genderang meresap keangkuhan. Bagaimana lagi manusia berkaca padahal bayangannya terlupakan. Indonesia hari ini begitu ramai dengan berbagai macam pemberitaan juga kabar soal dunia Politik. Dunia yang dikatakan sebagai ladang kekejaman dan kemunafikan, namun banyak ternyata yang ikutan.
Menimpali dengan hal yang tidak diketahui pasti, berbicara dengan reaksi penuh benci. Sebagian lagi berlaga bak ksatria yang telah bercucuran darah bertempur di medan perang. Datang berpura sebagai pembela kedaulatan wilayah, rakyat, bangsa, dan negara. Padahal tak kalah rupa, masih saja bergurau, mereka adalah pesilat dalam dunia fantasi.
Segala macam cara dilakukan, segala jalan di lalui, membunuh dan memfitnah tak jadi soal asal dirinya dan golongannya jadi juara. Bertapak tak bertuan. Kekuasaan diperebutkan demi tujuan yang entah milik siapa dan untuk apa. Di kaca buram tampak gambar anak kecil merintih lapar, ibu dan nenek tua tak jua berdaya, sang ayah masih sibuk berbincang di warung kopi tentang pejabat yang menjulurkan lidah berusaha menggoda rakyat yang butuh hiburan. Topeng belaka, wajah tak bermakna. Begitulah politik diberi dalam tanya.
Kita terlalu mudah menjawab, terlalu cepat menerka. Politik tak sesederhana itu. Mendapatkan kuasa lantas bebas bertindak tanpa tanggung jawab dan beban amanah. Akhirnya berikan derita panjang pada mereka yang berhasil disilaukan dengan gemerlapnya. Dunia memang begitu, manusia seharusnya seperti itu.
Melangkah dengan menginjak lantas tertawa dalam tatih. Bilaman kita akan jemu, bersolek rupa tapi nampak murka. Sudahilah semua tipu daya, sebelum akhirnya sang pemilik mandat menggugat. Rakyat lah pemilik mandat diatas segala amanat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Menderu bak petir di siang bolong jika ada sambaran dari getirnya suara rakyat.
Kapankah kita benar-benar memberi ruang pada hati, agar sedikit saja bisa mencintai. Memberi tanpa harus bertanya, tentang apa yang akan didapatkan esok pagi. Usang sudah frasa Negarawan, mungkin ada namun dalam hitungan kepala. Mereka golongan seutuhnya pembela NKRI, dibalik jubah kesederhanaan, memotong lidah orang-orang yang berkebanyakan.
Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Syaukani, Jenderal Sudirman atau bahkan Diponegoro sekalipun sebagai Negarawan sangat menderita saat menisbahkan diri untuk bangsanya, tanah yang dipijak dan dikotori bedebah penjajah. Dipenjara, diasingkan, dibuang, diancam, dibunuh, diculik dan diperlakukan tak pantas sebagai manusia. Bukan karena suasana dan kondisi yang berbeda. Kita dalam dimensi yang sama namun tak serupa. Kondisi hari ini masih terbelenggu oleh jejak-jejak keserakahan manusia, kita terberangus oleh segelintir kalangan yang dipuja bak dewa namun ringkih seperti kayu kering, patah tak berguna.
Pertarungan para Negarawan adalah pertarungan harga diri bangsa yang dibalut ide, gagasan dan konsep soal keberlangsungan hidup Bangsa dan Negara Indonesia di masa mendatang, lantas menelurkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mereka berjibaku antara takdir dan kenyataan mencoba menembus batas nalar manusia yang merogohnya dalam untaian benang merah sejarah. Karena cinta dan kasih sayang mereka ada, mereka berbuat untuk peradaban, generasi dan Nusa Raya. Bukan berbicara kepentingan pribadi dan apa yang dimakan esok hari.
Politik adalah bahasa cinta, ungkapan paling puitis dari buah peradaban. Karena pada politik kita bersandar tentang jalur kehidupan yang dibahasakan secara kumulatif dan komprehensif, kita sebut sebagai kebijakan. Inilah yang menurut doktrin sosial sebagai pertaruhan masa depan generasi. Padahal tak sedramatis itu, masyarakat hanya menjadi objek dari kata-kata, belenggu patronisasi dan kebermanfaatan tak bisa lepas begitu saja selama tak terdorong oleh rasa cinta dan kasih ingin berguna bagi keadaan.
Mengikuti arus generasi hari ini adalah hal terburuk yang dilakukan oleh seorang penggerak dan kaum revolusioner. Membangun basis yang berkualitas, memahami segala aspek dari berbagai tinjauan fisiologis, demografis, geografis dan segala hal yang terkait. Kualitas pemilihan harus berubah, cara pandang terhadap demokrasi pun harus dikulturasi, kita berkiblat pada budaya asli kita, jangan lagi ada pertaruhan dan merasa paling pintar diatas segalanya. Itu membuat gaduh, membuat berisik terhadap pandangan sinisme orang merdeka. Demokrasi harusnya membangun kesadaran, bukan malah membangun mekanisme ego sentris terhadap individu hasil tempaan modernisasi.
Kita terlalu banyak bicara, mengikuti hal yang tak pasti, merujuk pada sekat kecil yang banyak diamati. Tetiba datang jiwa setan, lantas mengkritik tanpa landasan, memberi saran tanpa kebenaran. Menyalahkan tanpa memberi solusi pun adalah kesalahan. Memberi solusi namun tak ada ruang adalah kesia-siaan. Jika ingin merubah keadaan, pegang kendali dari dalam, berpeganglah pada kebenaran, karena kebenaran nisbi, maka jangan lupakan pengalaman dan faktor pembentuk yang dinamakan kesejarahan. Sudah pegang kendali tapi tak berbuat adalah sebuah kebodohan, berbuat untuk pertahankan kuasa adalah keserakahan.