Lihat ke Halaman Asli

Penghapusan Pidana dalam hal Pembelaan Terpaksa

Diperbarui: 12 Mei 2022   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada umumnya masih banyak orang yang belum mengetahui apakah tindakan pembelaan terpaksa hingga sampai membunuh pelaku kejahatan merupakan suatu tindak pidana atau tidak. Sebab banyak orang awam mengira dengan melakukan tindakan tersebut hingga sampai melampaui batas-batas pembelaan, maka tindakan itu dianggap oleh sebagian orang sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana oleh penyelidik ataupun penyidik. Sebelum masuk ke dalam pembahasan, kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi dari pembelaan terpaksa.

Pembelaan terpaksa dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi atau peristiwa dimana kejadian tersebut diluar dari kehendak atau keinginan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa melakukan pembelaan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain ataupun harta benda diri sendiri dan orang lain. Pada dasarnya tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh korban dalam hal ihwal pembelaan terpaksa menurut ketentuan pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dalam KUHP tidak dapat dipidana karena adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam hukum pidana. Dapat dijelaskan lebih lanjut, alasan pembenar dapat didefinisikan sebagai alasan yang menghapus atau meniadakan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. Sedangkan alasan pemaaf dapat diartikan sebagai alasan yang menghapus atau meniadakan kesalahan dalam diri pelaku, biasanya dalam contoh empirisnya lebih mengarah kepada kondisi psikis atau kejiwaan seseorang.

Jika mengacu pada ketentuan pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, bahwasannya pembelaan terpaksa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pertama ada yang disebut sebagai noodweer (pembelaan terpaksa) dan yang kedua disebut sebagai noodweer excess (pembelaan terpaksa melampaui batas).

Pada pembelaan terpaksa (noodweer) dasar hukumnya diperjelas pada pasal 49 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.” Sedangkan pada pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess) dapat juga dijelaskan dalam pasal 49 ayat (2) yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Jadi penjelasan yang ada pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, merupakan dasar hukum dan sekaligus jenis-jenis dari pembelaan terpaksa.  Maka oleh karena itu penulis akan menjelaskan lebih lanjut terkait noodweer dan noodweer excess.

Pertama pada kasus pembelaan terpaksa (noodweer), dalam situasi ini, psikis atau kejiwaan dari seseorang atau korban jauh lebih tenang, tidak panik dan mampu berpikir secara rasional ketika berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan walaupun korban mendapat ancaman atau serangan dari pelakunya.

Misalnya, si Andi sedang berjalan pulang menuju rumahnya dengan sepeda motor, tanpa disangka ada pelaku begal yang mengikuti si Andi dari belakang hingga pada akhirnya pelaku begal tersebut menghadang atau menghalangi sepeda motor yang dikendarai si Andi, lalu pelaku begal tersebut melakukan ancaman dan kemudian melakukan serangan kepada Andi, tetapi karena Andi ahli dalam bela diri, Andi tidak panik lalu ia menghindar dari serangan pelaku dan membalas serangan tersebut sekuat-kuatnya dengan tanpa sengaja membuat pelaku tersebut pingsan di tempat, kemudian si Andi langsung bergegas kabur dengan sepeda motornya untuk menjauh dari pelaku begal tersebut. Maka tindakan yang dilakukan Andi tidak dapat dipidana karena adanya alasan pembenar dan berlakunya pasal 49 ayat (1) tersebut.

Kedua pada kasus pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), pada kondisi ini seseorang atau korban mengalami keguncangan jiwa yang sangat hebat. Sebab pada situasi ini kejiwaan korban benar-benar tidak stabil, panik, dan melakukan cara apa saja untuk mempertahankan diri sendiri atau melindungi orang lain dari pelaku kejahatan. Dan pada kasus ini, biasanya korban telah melampaui batas-batas pembelaan darurat.

Misalnya, Budi keluar dari kamar untuk minum di ruang tamu, kemudian ia melihat kakak perempuannya sedang ingin diperkosa oleh dua orang yang tidak dikenal masuk kedalam rumahnya. Seketika ia mengalami keguncangan jiwa yang sangat hebat dan tubuhnya kaku ketika melihat kakaknya yang sedang ingin diperkosa. Kemudian ia ambil gelas kaca yang ada diatas meja dan tanpa pikir panjang ia melempar gelas ke arah dua pelaku tersebut dan mengenai kepala dari salah satu pelaku hingga terjatuh dan mengalami pendarahan hebat hingga meninggal. Maka tindakan yang dilakukan Budi terhadap dua orang tersebut tidak dapat dipidana karena adanya alasan pemaaf dan berlakunya pasal 49 ayat (2) tersebut.

 Jika dikutip dalam bukunya R. Soesilo yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 64-65)" beliau mengatakan bahwa ada syarat-syarat yang bisa disebut sebagai "pembelaan terpaksa", sebagai berikut:

  1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
  2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.

Tetapi lain cerita apabila korban telah membawa senjata baik tajam atau tumpul dari rumah atau tempat lain dengan niat untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain atau ingin melawan pelaku begal atau kejahatan tersebut. Maka tindakan korban tidak bisa dilindungi oleh pasal 49 KUHP, karena seperti yang kita lihat pada kutipan tulisan dari buku R. Soesilo diatas bahwasannya yang dikategorikan sebagai bentuk pembelaan terpaksa salah satunya adalah “Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.”. jadi sudah jelas bahwasannya yang dapat disebut sebagai unsur pembelaan terpaksa salah satunya yaitu, harus ada ancaman atau serangan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban pada saat itu juga tanpa kehendak atau keinginan dari korban. Maka korban yang telah membawa senjata baik itu tajam atau tumpul yang dibawanya dari rumah atau tempat lain dengan niat untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain atau ingin melawan pelaku kejahatan, maka tindakan tersebut tidak bisa dilindungi oleh pasal 49 KUHP, karena korban sudah memiliki niat atau merencanakan untuk melawan pelaku kejahatan jauh sebelum korban berhadapan langsung dengan pelaku. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan korban dapat dikenakan pasal tertentu, misalnya; pasal 338, 340, 351, dan seterusnya.

Dengan demikian artikel singkat ini telah disampaikan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam penulisan artikel. Sekian dan terima kasih.

Salam Hangat,

Ezra Zachary

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline