Lihat ke Halaman Asli

Seandainya Punya Mesin Waktu, Mungkin 14 Tahun Lalu Saya Batal Memilih Fakultas Kedokteran

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tulisan pertama saya di Kompasiana, dan menjadi tulisan pertama di Media Internet setelah vakum sekitar 7 tahun. Saat itu saya sedang giat menulis sebuah Blog yang kini saya tinggalkan, karena ingin mengubah gaya penulisan. Waktu itu, saya hampir lulus sebagai dokter. Harapan tak banyak, sama seperti harapan selama empat tahun terakhir ini, lulus tepat waktu. Saya mencapai harapan saya di tiap titian waktu tersebut (Praise The Lord). Ada yang kemudian mengusik setiap kali saya lulus tiap titian waktu, "Apa yang akan saya lakukan kemudian?". Ini persis masalah yang banyak dialami orang-orang yang baru saja lulus kuliah. Teringat tujuh tahun lalu, saya memutuskan langkah besar, pindah ke Jakarta. Tanpa bekal uang atau kenalan, saya nekad berbeda jalur dari teman sejawat lain. Kebanyakan beliau-beliau menjadi PNS atau dokter PTT. Saya tidak setuju, lalu dengan tekad menaklukan kantor-kantor megah di Jakarta, dan berakhir dua bulan tanpa pekerjaan. Hal yang menyedihkan untuk seorang dokter. Masih harus mengurus ujian kompetensi, yang waktu itu adalah angkatan pertama. Untungnya saya tamat dokter tujuh tahun lalu, jadi tidak harus menjalani internship seperti adik-adik saat ini. Mereka sudah ikut ujian kompetensi, lalu masih harus kerja bakti dan tak dipercaya penuh, baru bisa praktek yang sesungguhnya. Biaya tak murah, tentu saja. Mulai dari uang sekolah, buku, penelitian, belum ditambah biaya untuk pergi ke pulau tempat internship, ujian komptensi, mengurus surat dua kali, dan kalau mau PTT pula. Sekali lagi, ini akan terdengar menyebalkan buat adik-adik saya, tapi sama seperti kakak tingkat saya yang bersyukur beliau lulus duluan sehingga tak harus ujian kompetensi, saya juga begitu.

Ironis bukan?
Dibalik sebuah jas putih dokter yang dikagumi (dulu), karena kini banyak KW nya alias tiruan (datang saja ke apotek di Mall, atau ke pusat penjualan kosmetika deh...) ternyata entahlah mengapa pendidikan kedokteran seakan bermain 'ular tangga'. Saya juga tidak yakin analogi ini cocok, maaf saja kalo kurang tepat (hanya sebuah opini sesaat). Pertanyaannya bila memang pendidikan kedokteran di Indonesia banyak kekurangannnya, Pembenahan yang efektif dan efisien, mungkin adalah saat calon dokter masih di bangku kuliah, sehingga akan menghemat banyak tenaga, uang, waktu baik bagi calon dokter dan keluarganya maupun tenaga pengajar, institusi pendidikan dan pemerintah. Coba dipikir baik-baik, kebutuhan akan tenaga dokter sangat tinggi, apalagi di daerah sangat terpencil. Saat kita menambahkan runtutan tata cara untuk seorang dokter layak praktek, kita menambahkan waktu, tenaga, dan uang yang harus didedikasikan untuk itu. Artinya, masyarakat yang di pelosok desa, misalnya di kaki gunung Boliyohuto di desa Saritani (tempat PTT saya dulu), harus menunggu atau menunda kebutuhannya akan jasa kesehatan, sesuai sejumlah waktu yang didedikasikan oleh para calon dokter itu. Belum lagi karena tuntutan ekonomi (biaya transport yang mahal menuju tempat tersebut misalnya) menambah banyak kesulitan bagi para dokter ini. Siapa yang harus menanggungnya?, belum lagi waktu dan tenaga yang tercurah. Saatnya kita memikirkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam segala hal. Dan tak lupa bahwa dokter pun manusia seperti masyarakat lainnya, bisa sakit, bisa mati, bisa miskin, dan bisa mengalami segala hal yang dialami semua manusia.

Sehingga, anda tak perlu heran mengapa saya pernah memiliki pendapatan dibawah UMR. Belum lagi tuduhan yang kadang tak berbukti pada dokter (karena dugaan yang kadang tanpa dasar medis yang jelas, atau hanya asumsi terhadap suatu masalah, yang bahkan kadang tak ditelusuri dengan seksama), padahal banyak yang dikorbankan untuk dapat melayani masyarakat, misalnya keluarga di kota lain hampir tak ada waktu untuk diperhatikan, tidur yang kurang karena tak sempat, makan yang tak tentu waktu, belum termasuk masalah medis yang membuat otak terperas luar biasa (karena dokternya sendirian di desa terpencil, sedangkan kasusnya mengancam nyawa, alat medis terbatas, dan tak ada yang membantu). Pernahkah hal-hal ini bahkan terbesit di pikiran?. Banyak dari kami yang mengalaminya.

Sehingga, pantaskah saya tidak bersyukur Tuhan sudah memberi anugerah ini, sehingga sebagai manusia yang lemah ini masih mengalami ketidakberdayaan, dan bertanya:"Seandainya punya mesin waktu, mungkinkah 14 tahun lalu saya batal memilih Fakultas Kedokteran sebagai misi saya ada di dunia ini?"

Dan saya bersyukur, mendapat kesempatan melayani masyarakat dengan kompetensi saya.
Sebagai Renungan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline