Lihat ke Halaman Asli

Eza Ihza Mahendra

Alumni Pendidikan Sejarah UNJ dan Pendidikan Profesi Guru UNTIRTA

Visi Pemerintahan tanpa Oposisi

Diperbarui: 18 Oktober 2024   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prabowo Subianto (Net)

"Oposisi Bukan Budaya Kita..." menjadi kosakata politik yang menuai banyak kontroversi, khususnya mengenai demokrasi. Banyak pihak mengkhawatirkan adanya sebuah visi pemerintahan yang berjalan tanpa oposisi karena akan berpotensi meniadakan fungsi check and balances. Dalam konteks menyongsong transisi pemerintahan, presiden terpilih Prabowo Subianto memberikan sebuah pidato dalam penutupan Kongres III Partai NasDem mengenai pentingnya kerja sama dan kolaborasi dalam membangun bangsa dan negara. Secara khusus dalam pidatonya tersebut, ia mengajak para pemimpin elite partai politik bergabung untuk mendukung pemerintahannya. Partai-partai politik dirangkul masuk ke dalam kabinet yang artinya perpanjangan tangan mereka di parlemen akan kehilangan nyali untuk mengawasi karena terkooptasi kekuasaan eksekutif.

Banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang kemudian timbul dari cara yang digunakan Prabowo dalam mengkonsolidasikan kekuasaannya. Apa yang menjadi intensi Prabowo mengenai persatuan? Apakah demokrasi harus memaksakan adanya persatuan? Apa yang menjadi fondasi negara demokrasi? Apa jadinya negara demokrasi tanpa oposisi?

Demokrasi adalah usaha bersama, nasibnya bergantung pada kita semua. Oleh karena itu, dengan mengambil momentum transisi pemerintahan era Prabowo-Gibran, tulisan ini memiliki harapan bisa mengajak banyak pihak sedari awal memberikan semacam peringatan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran agar nuansa kepemimpinannya tidak cenderung anti-demokratik, jika bukan otoriter.

Prabowo di penutupan Kongres III NasDem (YouTube NasDem)

Persatuan dalam Demokrasi

Mengutip apa yang sering yang disampaikan oleh Rocky Gerung, bahwa persatuan dibutuhkan karena adanya perbedaan, tetapi jangan dibalik, demi persatuan maka tidak boleh ada perbedaan. Dalam konteks pidatonya di acara penutupan Kongres III NasDem, terlihat sekali bahwa Prabowo memiliki obsesi mengenai persatuan, akan tetapi pertanyaannya persatuan seperti apa? Jika merujuk pada logika persatuan menurut pandangan Rocky Gerung, logika persatuan dari Prabowo memiliki intensi yang mengarah kepada demi persatuan maka tidak boleh ada perbedaan. Lalu, apakah demokrasi harus memaksakan adanya persatuan?

Persatuan yang hanya ada di alam demokrasi adalah kesediaan bersama untuk sepakat tak bersepakat. Menurut Levitsky & Ziblatt dalam bukunya yang berjudul How Democracies Die "sikap saling toleransi" menjadi norma fundamental dalam demokrasi, dengan tidak memandang persaingan politik sebagai suatu ancaman, tidak mau kerja sama, dan hanya mau gontok-gontokan saja. Artinya, demokrasi juga menerima dan mengakui mereka yang berbeda pilihan sebagai warga negara yang baik, patriot sejati, mencintai bangsa dan negara, serta memiliki cita-cita yang sama bagi bangsa dan negara.

Demokrasi adalah sebuah pekerjaan yang berat, tidak seperti polisi atau tentara yang bisa diperintah secara sepihak, demokrasi butuh partisipasi, perundingan dan kompromi. Hambatan tak bisa dielakkan, kemenangan tak selalu sempurna. Kebijakan presiden bisa gagal di parlemen atau dibatalkan pengadilan. Banyak yang menjadi frustrasi karena batasan-batasan itu, akan tetapi seseorang yang demokratis tahu harus menerimanya. Mereka juga harus mau menanggung banyaknya kritik. Oleh karena itu, maka menjadi berbahaya bagi demokrasi jika menganggap pengawasan dan perimbangan seperti itu sebagai suatu belenggu yang harus dihilangkan.

Pragmatisme dalam Demokrasi

Salah satu definisi klasik tentang demokrasi datang dari pandangan Abraham Lincoln, yang mendeskripsikannya sebagai, "pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".  Bagaimanapun kita suka mempercayai bahwa nasib suatu pemerintahan terletak di tangan rakyatnya. Levitsky & Ziblatt mengungkapkan bahwa pandangan itu justru keliru karena berasumsi terlalu banyak terhadap demokrasi itu sendiri -- bahwa "rakyat" bisa membentuk jenis pemerintahan semaunya. Untuk membuktikan hal itu kita bisa melihat ketika Jerman jatuh ke dalam Fasisme pada 1920-an. Pada saat itu, apakah otoriterianisme merupakan jenis pemerintahan yang diinginkan oleh masyarakat Jerman? Sulit untuk menemukan bukti bahwa mayoritas masyarakat Jerman memberikan dukungan terhadap otoriterianisme. Hitler berhasil meraih kekuasaan karena adanya dukungan orang dalam politik yang buta akan bahaya dari ambisinya ketika berkuasa.

Dalam hal ini, pada kenyataannya sering kali demokrasi dipahami dan dimaknai secara berbeda-beda oleh partai politik dan masyarakat. Seperti yang diuraikan oleh Feith, bahwa demokrasi hanya dibayangkan secara pragmatis sebagai sebuah prinsip legitimasi dan kekuatan bagi kekuasaan dalam membangun negara dan bangsa, sehingga demokrasi biasanya hanya dikaitkan dengan parlemen dan partai politik, tanggung jawab kabinet, serta pemilihan umum. Namun, demokrasi sangat jarang diasosiasikan dengan dasar penerapan sistem hukum konstitusional seperti hak individu, kekuasaan mayoritas dan hak minoritas, serta oposisi yang terlembaga. 

Dengan demikian, konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh Prabowo dengan mengajak para pemimpin elite partai politik bergabung dalam kabinet menjadi semacam pabrikasi persatuan yang berpotensi menumbangkan demokrasi karena dibayangkan sebagai sebuah prinsip legitimasi dan kekuatan bagi kekuasaan.

Koalisi Gemuk

Koalisi Indonesia Maju (Instagram Fraksi Partai Gerindra)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline