Lihat ke Halaman Asli

Tumbuhnya Teater di Bojonegoro

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1337227597533292812

Sebuah malam yang tak mungkin saya lupa. Kamis 22 Maret 2012, bersama seorang teman, menonton teater di STAI. Teater adalah hal yang langka bagi kota kering budaya ini. Berharap mendapat sebuah pertunjukkan yang menghibur. Saya justru mendapatkan lebih dari sekedar hiburan. Acara dimualai sekitar jam delapan malam, molor dua jam dari rencana dikarenakan hujan deras. Dimulai dengan pertunjukkan dari MTS Bojonegoro. Cendol penunggu hutan judulnya. Cukup menarik perhatian dengan dialog-dialog jawa yang kental serta kepolosan para pemainnya. Pertunjukkan ini menyisipkan nasihat pentingnya menjaga hutan demi kehidupan kita. Yah, mengingat hutan jati Bojonegoro banyak yang gundul, teater ini sungguh cocok untuk ditampilkan. Pertunjukkan kedua oleh Lumbung Lamongan. Hebat sekali bisa mengajak teater luar Bojonegoro untuk hadir, begitu pikirku. Pertunjukkan diawali dengan semua tokoh berdiri di panggung dengan mimik yang sedih. Kisah tentang takdir yang tak bisa dihindari oleh Oedipus sungguh miris. Begitu banyak bencana-bencana yang dia timbulkan karena keberadannya. Dengan ending Oedipus mati ditangan istri sekaligus ibu kandungnya,Jokasta. Jokasta sendiri menjadi gila. Dari semuanya yang paling memikat hati saya adalah dialog malam setelah pertunjukkan selesai. Di sini saya mengenal para penggiat seni di mana saya tinggal. Sungguh merupakan kegembiaraan tersendiri.

13372279091670176961

Ketika dialog mencapai sebuah ajang adu pendapat tentang bagaimana para penggerak atau penggiat seni menyuarakan haknya di hadapan birokrasi. Sedang penggiat seni, dalam hal ini ketua Teater Lumbung Lamongan sudah jenuh dengan birokrasi. Baginya, setiap teaternya mengajukan proposal. Di situ pulalah dia menciptakan celah untuk korupsi. Dana yang diterima tidaklah pernah utuh. Di tengahi oleh Pakdhe Uban, dengan anologinya yang cerdas. Mengatakan bahwa anaknya rela memberikan pulsa berapapun untuk pacarnya. Karena apa? Karena cinta. Bisa disimpulkan bahwa apa yang diusahakan oleh ketua Teater Lumbung tidak memerlukan birokrasi karena ia sudah mampu melakukannya sendiri. Karena ia mencintai teater.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline