Lihat ke Halaman Asli

Anggota DPR Tak Harmonis? Biarkan Saja Pak Jok

Diperbarui: 22 Oktober 2015   01:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terasa sudah satu tahun berjalan roda pemerintahan negeri kita di tangan dua orang penting ini, pak jokowi dan pak jusuf kalla. Beliau sudah memberikan apresiasi dengan berbagai bentuk kebijakan dan keuletan dalam menjalankan pemerintahan, dengan berbagai karakteristik anak buahnya para menteri dalam menjalankan tugas dan wewenang, dan tentunya dapat membuahkan hasil, tepat sasaran. Yang pak jokowi menghadirkan berbagai bentuk kartu sudah di buatkan, tinggal melihat hasilnya, apakah sesuai dengan target yang di impikan, karena ini impian pak jokowi bukan warga negara, mereka hanya ingin sejahtera, sudah titik.

Maaf untuk menyebut menteri menggunakan kata “anak buah”, lebih enaknya menggunakan kata rekan kerja, ada sebuah tim yang solid. Karena memang para eksekutif presiden dan kementerian mempunyai peran yang penting untuk menjalankan kebijakan pemerintah bukan saja tepat sasaran, tetapi bukan saja diam hanya berupa ide dan tertulis lengkap di atas kertas, paling tidak memang terjalankan dengan baik, biar para warganya berkomentar baik, media sosialnya biar terus menjulurkan jempol ke atas.

Ada banyak persoalan yang terus saja bergumam di tengah menjalankan roda pemerintahan, bukan begitu pak Jok!. salah satunya anggota DPR yang tak harmonis, itu bukan hal baru dan jika terus saja begitu yang tidak apa-apa, kan mereka hanya pelengkap. Main kubu-kubuan, biar terlihat hebat mana kubu yang terus menjadi sorotan, mana yang paling memberikan sumbangsih, mana dan mana tanpa ada penyelesaian, padahal DPR itu satu.

Ya DPR bukan Kubu KMP atau KIB, itu hanya penamaan biar terlihat tersohor, apalagi media sekarang sedang marak, naik daun dapat dengan cepat mendapatkan informasi dan dapat dengan cepat menyebar di seluruh tanah air, untuk membentuk sebuah opini publik baik itu mengahasilkan interpretasi positif maupun negatif.

DPR sebagai pelengkap kalau melihat sejarah, DPR itu tidak ada. Tidak diperlukan, yang perlu adalah eksekutif dan yudikatif. Para pelaksana dan para para penegak keadilan. Sudah cukup, sayangnya bila itu diteruskan maka demokrasi itu tidak ada. Karena sudah tahu demokrasi itu rumit, mahala harganya. Rumit, lihat saja DPR pakai suara dua, kubu satu kubu dua. Memang kementerian ada semacam itu, tidak ada karena bagian dari eksekutif ikut melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah selagi masih dalam koridor hukum tidak bertentangan. Lantas, jika DPR tidak diperlukan.

Di tiadakan, terus bagaimana soal pemberitaan. Yah semua akan fokus pada penegakan keadilan, dan sejauh mana presiden dan tim yakni kementerian bekerja. Sudah, kan kalau dilihat paling ramai itu DPR, yang ditunggu suara DPR. Padahal, Presiden itu paling penting. Dia adalah pemimpin yang harus mendapatkan tempat lebih untuk bergerak melakukan gerakan yang positif bagi masyarakat.

Kalau DPR tidak ada, ya tidak ada fraksi di partai. Terus partai melakukan apa? Mempersiapkan siapa menjadi calon presiden dan wakilnya, kan kementerian datang dari partai atau non partai bahasa halusnya independent. Kalau DPR tidak ada, sudah tidak ada keributan ada kunjungan salah satu anggota ke luar negeri menggunakan uang rakyat atau kunjungan kerja yang tidak bermanfaat, itu macam komentar yang seringkali terlontar, tak nampak lagi dari masyarakat. Kalau tidak ada DPR, siapa yang melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan, tentu saja mereka sendiri.

Presiden dan wakil beserta kementerian dan para militer yang menjalankan fungsi keamanan. Kan mereka sudah pada dewasa, tentu saja sudah tahu apa yang dilakukan sesuai visi dan misi dan masih terkesan baik, dan beruntung bagi masyarakat memiliki sosok mereka. Dan yang ada kekuasaan akan berubah bentuk dari demokratis meskipun tidak ada alat kelengkapan seperti DPR, menjadi otoritarian, karena tidak ada kontrol.

Meskipun ada DPR, tidak ada bentuk kontrol yang valid. Tentu saja ada, lihat saja waktu melakukan proses legislasi, hujan interupsi, ada perbedaan satu sama lain, tidak ada kesamaan, sampai jatuh pada proses voting, biar lebih mudah, kalah jumlah ya kalah kebijakan. Ya begitu terus sampai nanti, tidak ada proses aklamasi dalam menentukan kebijakan. Kalau soal memilih orang untuk menjadi ketua partai, kebanyakan aklamasi. Meskipun ada calon lain, tidak mendapatkan dukungan jumlah orang yang ikut mendukung untuk duduk di kursi pemimpin, tetap saja aklamasi. Kalau urusan legislasi, ya voting. Begitu terus, dan entah itu kebijakan baik atau buruk yang tahu mereka yang voting bukan masyarakat. Kalau menang suara, sorak sorai bergembira, di foto masuk media massa, di komentar masyarakat, ramai lagi.

Berjalan beriringan, adanya intergritas yang paling penting, eksekutif, legislaif dan yudikatif, mereka harus tahu tugas dan wewenang yang harus mereka jalanakan sebagaimana mestinya, toh yang untung juga mereka karena berhasil melaksanakan kebijakan, dan masyarakat yang mendapatkan perhatian pemerintah dalam menjauhkan diri dari persoalan hidup yang rumit, baik itu pendidikan, sosial, ekonomi, dan lainnya.

Untuk pak jokowi dan jusuf kalla, pokoknya buat semua yang berada di kursi pemerintahan mau pns dan non pns, semua terlibat dalam membentuk negara yang beradab, negara dengan perolehan suara keberhasilan dalam mencapai kesejahteraan umat. Jangan bosan-bosan untuk mendirikan negara kesatuan yang adil makmur sentosa, dan kalau soal bela negara masuk ke dalam hal yang diwajibkan bagi masyarakat apa tida dirasa itu merupakan sebuah kemunduruan, kembali ke era pak soeharto yang pancasila, masih ingat? Nanti akan kita bahas... dadah///

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline