Beberapa waktu lalu, saya mendapati diri terjebak dalam rutinitas yang tampaknya sederhana: seorang teman sering meminta saya untuk mengoreksi atau memberikan pendapat tentang foto-foto yang ia unggah di media sosial. Pada awalnya, saya menanggapinya dengan konsisten, memberikan pandangan yang jujur tentang apa yang saya lihat. Namun, belakangan ini, saya merasa semakin enggan untuk berkomentar. Bukan karena malas, tetapi karena lelah dengan dunia yang tampak begitu palsu dan penuh dengan pencitraan.
Kita hidup di zaman di mana semua orang berperan sebagai aktor dalam drama kehidupan mereka sendiri, terutama di dunia maya. Setiap orang memiliki kesempatan untuk mengubah siapa diri mereka---membentuk citra yang ingin dilihat orang lain. Kita bisa berpura-pura pintar, bodoh, sukses, atau apa saja yang diinginkan, dan dengan mudah, dunia pun percaya dengan peran yang kita mainkan. Sosiolog Erving Goffman menggambarkan fenomena ini dalam teorinya tentang "dramaturgi", di mana interaksi sosial kita diibaratkan seperti panggung teater, dan kita semua sedang memainkan peran di hadapan audiens kita.
Namun, apa yang terjadi ketika peran yang kita mainkan mulai mengaburkan jati diri kita yang sebenarnya? Ketika dunia maya menjadi ruang di mana setiap orang berlomba-lomba untuk menampilkan yang terbaik dari diri mereka, sering kali kita kehilangan esensi dari siapa kita sebenarnya. Media sosial menjadi panggung besar di mana akting adalah hal yang lazim, dan yang asli menjadi sesuatu yang langka.
Dalam konteks spiritualitas, Islam juga memperingatkan kita akan bahaya berpura-pura atau riya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan dari hal yang aku khawatirkan atas umatku adalah syirik kecil, yaitu riya." (HR. Ahmad). Riya, atau melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain, adalah bentuk ketidakjujuran pada diri sendiri dan orang lain. Di era digital ini, bentuk riya bisa ditemukan dalam cara kita menampilkan diri di media sosial, mencoba menjadi seseorang yang mungkin bukan diri kita yang sebenarnya.
Kelelahan saya dalam menghadapi pencitraan ini muncul karena saya melihat betapa banyak orang kehilangan kesadaran akan siapa diri mereka sebenarnya. Dunia ini menjadi tempat di mana setiap orang pandai berekting, namun kesadaran diri, kemurnian hati, dan ketulusan semakin terpinggirkan. Sherry Turkle, seorang ahli dalam studi media sosial, pernah mengatakan bahwa kita sekarang lebih terhubung secara digital namun semakin jauh dalam hubungan yang sejati dan autentik.
Hal ini mendorong saya untuk merenung lebih dalam. Mengapa kita begitu terobsesi dengan pencitraan? Apakah ini demi mendapatkan validasi dari orang lain? Padahal, dalam Al-Qur'an, Allah mengingatkan kita bahwa yang paling penting bukanlah apa yang orang lain pikirkan tentang kita, tetapi niat dan ketulusan di balik setiap perbuatan. "Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya." (QS. Al-Ma'un: 4-6). Ayat ini mengajarkan kita untuk menghindari perbuatan yang dilakukan hanya demi penilaian manusia.
Di tengah dunia yang semakin penuh dengan pencitraan, mungkin kita semua perlu jeda sejenak. Ada keindahan dalam kejujuran dan kesederhanaan yang terkadang hilang di balik filter media sosial. Kita tidak perlu selalu terlihat sempurna atau terus-menerus memainkan peran tertentu. Kadang, menjadi diri sendiri---meskipun tak sempurna---adalah langkah terbesar menuju kebahagiaan yang sejati.
Pada akhirnya, mungkin yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak pujian atau validasi dari orang lain, melainkan penerimaan diri. Ketika kita belajar untuk mencintai diri kita sendiri apa adanya, tanpa harus berpura-pura di depan orang lain, dunia menjadi tempat yang lebih jujur dan bermakna untuk dijalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H