Lihat ke Halaman Asli

Ewia Putri

seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

Gunung: Perjalanan Intelektual dan Spiritual

Diperbarui: 6 Juni 2024   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Bayangkan seorang profesor filsafat dan seorang pemanjat gunung profesional sedang berbincang-bincang di sebuah kafe yang trendi di kaki gunung. Profesor filsafat, dengan wajah serius, bertanya, "Pernahkah Anda berpikir bahwa gunung bisa menjadi tempat berkontemplasi yang sempurna? Banyak filsuf besar yang menemukan kebijaksanaan mereka di puncak gunung."

Si pemanjat gunung, sambil menyantap sandwich-nya, menjawab, "Ya, saya juga sering mendapatkan pencerahan ketika mendaki. Terutama saat saya tersesat tanpa sinyal GPS. Itu benar-benar momen paling filosofis dalam hidup saya!"

Keduanya tertawa, menyadari bahwa meskipun mereka datang dari latar belakang yang berbeda, ada satu kesamaan yang menyatukan mereka: gunung. Gunung bukan hanya sebuah tempat fisik untuk didaki, tetapi juga simbol dari perjalanan intelektual dan spiritual yang mendalam.

Dalam sejarah filsafat, gunung memiliki kedudukan yang sangat penting. Beberapa filsuf besar seperti Lao Tzu, Martin Heidegger, Ludwig Wittgenstein, dan Richard Sylvan, sengaja menyisihkan sebagian waktu mereka untuk berkontemplasi di daerah pegunungan. 

Lao Tzu percaya bahwa alam adalah guru terbesar manusia, dan ia sering menyendiri di pegunungan untuk menemukan kebijaksanaan. Lao Tzu pernah berkata, "The journey of a thousand miles begins with one step." Bagi Heidegger, pegunungan Schwarzwald menjadi tempat di mana ia dapat berpikir lebih mendalam dan merenung tentang keberadaan.

Dalam tradisi Timur, gunung juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Para biksu Buddha sering mengasingkan diri di pegunungan untuk meditasi, dan dalam Taoisme, gunung dianggap sebagai tempat yang penuh dengan energi spiritual. Di Jepang, para samurai juga mencari pencerahan di pegunungan, memperkuat hubungan mereka dengan alam dan menemukan kedamaian batin.

Gunung telah menjadi tempat pengasingan diri yang ideal untuk melakukan berbagai aktivitas filosofis. Dimensi pengasingan ini juga terbentuk dalam proses pengembaraan, seperti yang terjadi dalam "Grand Tour," suatu aktivitas intelektual yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 dan menjadi nenek moyang dari kegiatan-kegiatan pariwisata hari ini. 

Grand Tour adalah perjalanan panjang yang dilakukan oleh kaum muda aristokrat Eropa untuk mengeksplorasi seni, budaya, dan filsafat di berbagai negara. Dalam perjalanan ini, banyak dari mereka yang mendaki gunung dan menikmati keindahan alam sebagai bagian dari pencarian intelektual dan spiritual mereka.

Dari sini jelaslah bahwa pariwisata mulanya merupakan suatu kegiatan intelektual, dan perjalanan mendaki gunung pun berakar pada basis filosofis yang sama. Mendaki gunung bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga perjalanan menuju pencerahan intelektual dan spiritual.

Jika ditilik dari perspektif spiritual, mendaki gunung merupakan media mendekatkan diri pada Allah SWT. Mendaki gunung juga berarti mentadabburi manifestasi ilahi yang ada di bumi. 

Sebagai seorang Muslim, kita berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Firman Allah SWT di dalam Al-Qur'an ada yang berupa qauliyah (tersurat) dan kauniyah (tersirat). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline