Di balik dedaunan hijau yang menghampar luas dan pohon-pohon tinggi yang menjulang, tersembunyi sebuah kisah yang jarang terdengar, yaitu kisah miris para buruh sawit. Mereka yang menjadi tulang punggung industri kelapa sawit yang seringkali terabaikan dalam bayangan keberhasilan perkebunan besar.
Artikel ini membuka tirai gelap yang menyelimuti nasib buruh Perempuan sawit yang ada di Jambi, menyelidiki tantangan yang mereka hadapi sehari-hari dan menyuarakan panggilan untuk memperbaiki kondisi yang telah lama terlupakan ini.
Melalui lapisan dedaunan yang rapat, mari kita menggali lebih dalam untuk mengungkapkan perjalanan kelam dan aspirasi yang terkandung dalam setiap tetes keringat buruh sawit, yang tak jarang menjadi korban bisu dalam kemajuan industri raksasa ini.
Akhir-akhir banyak sekali buruh yang tidak mendapatkan keadilan dari atasannya dan banyaknya kemirisan pada buruh khususnya Wanita. Buruh perempuan yang bekerja tanpa adanya keselamatan pekerjaan menghadapi tantangan dan risiko yang besar dalam menjalani aktivitas pekerjaan mereka. Keselamatan pekerjaan bukan hanya hak dasar bagi setiap pekerja, tetapi juga menjadi kunci untuk menjaga kesejahteraan fisik dan mental pekerja, termasuk buruh perempuan.
Banyak sekali Perempuan yang tidak mendapatkan keadilan dan diperlakukan semena-mena oleh atasannya, mulai dari jam kerja yang tidak sesuai, upah yang tidak dari kata cukup, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, tidak adanya perlindungan keselamatan kerja.
Kita ambil salah satu kasus yang ada di daerah Tanjung Jambung Timur, Jambi. Seorang buruh Perempuan (Mirna) hanya mandapatkan upah Rp. 96.000 per hari dari perusahaan jika ia masuk kerja, itupun tanpa adanya tunjangan, tak ada fasilitas apa pun dari perusahaan. Bahkan, alat kerja seperti sepatu boot, alat semprot, sarung tangan dan masker juga harus disediakan sendiri pekerja. Saat pekerja harian seperti Mirna mengalami kecelakaan, mereka harus menanggung sendiri semua.
Hingga pada waktu sebelum menyemprotkan pestisida dia lupa memperhatikan arah angin. Kejadiannya cukup cepat, hingga cairan pestisida langsung terbawa angin dan berbalik ke arahnya. Akibatnya, ia harus rehat untuk beberapa bulan untuk menyembuhkan lukanya.
Menurut saya, seharusnya perusahaan setidaknya memberikan suatu jaminan kesehatan kepada pekerja buruh wanit tersebut mengingat ia sudah berkeluarga dan juga memiliki anak. Selain itu, ia suda bekerja di perusahaan tersebut selama 8 tahun yang mana seharusnya kesadaran (K3) diterapakan pada perusahaan di Indonesia.
Selain itu, seharusnya perusahaan mau untuk mengeluarkan sedikit biaya untuk membiayai biaya kesehatan atau kecelakaan tenaga kerja atau karyawan karena kesehatan dan keselamatan dalam kerja sudah terjamin.
Keselamatan kerja diatur didalam Pasal 3 UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dijelaskan yang pada pokoknya menjelaskan bahwa seharusnya memberikan pertolongan pada kecelakaan; memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran.
Selain itu dijelaskan pada UU Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No.13 tahun 2003. Yang dimana disebutkan bahwa buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: