Di dalam kelas, saya duduk di depan siswa. Saya siap mendengarkan dan memahami tantangan yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar.
Dalam momen itu, saya bertanya kepada siswa, dengan nada hangat namun penuh perhatian: "Apa kesulitanmu dalam proses belajar mengajar?"
Siswa itu duduk dengan sedikit canggung, mempertimbangkan jawabannya. Akhirnya, dia menjawab, "Saya tidak mau ke sekolah kalau hari itu adalah jadwal pengumpulan pekerjaan rumah."
Pernyataan singkat itu mengungkapkan lebih dari sekadar ketidaksukaan akan tugas-tugas rumah. Di balik kata-katanya tersemat rasa kecemasan atau bahkan ketidaknyamanan yang mendalam.
Dari situ juga jelas bahwa siswa tersebut menghadapi kesulitan yang signifikan dalam menghadapi jadwal pengumpulan tugas.
Ini bukan hanya masalah keengganan atau ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, tetapi lebih merupakan ketegangan emosional atau psikologis yang muncul ketika tanggal pengumpulan tugas mendekat.
Dengan melihat lebih dekat, bisa jadi ada lebih banyak siswa yang merasakan hal yang sama, meskipun mereka mungkin tidak mengungkapkannya secara terbuka.
Pernyataan siswa tersebut mencerminkan tantangan yang mungkin dialami oleh sebagian besar siswa dalam kelas, yang memerlukan pemahaman yang lebih dalam dan solusi yang sesuai dari guru dan staf pendidikan.
Setelah mendengarkan pernyataan siswa tentang kesulitan mereka terhadap jadwal pengumpulan pekerjaan rumah, saya mengambil momen untuk merenung tentang akar masalah tersebut.
Salah satu kemungkinan alasan di balik ketidaknyamanan siswa terhadap jadwal pengumpulan tugas rumah adalah beban kerja yang terlalu berat.