Lihat ke Halaman Asli

Evi Wiyanti

Mahasiswa

Pendidikan Multikultural dan Kualitas Pengajaran. Apa yang Perlu Diperbaiki?

Diperbarui: 30 Oktober 2024   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendidikan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali, anak dari suku, ras ,agama, budaya, bahasa yang berbeda, kesemuanya memiliki hak tersebut. Tak dipungkiri bahwa setiap negara, entah negara berkembang, negara maju dan negara terbelakang sekalipun membutuhkan pendidikan. Karena tolak ukur suatu negara dikatakan mensejahterakan rakyatnya adalah ketika individu atau masyarakat terpenuh kebutuhan primernya berupa pendidikan.

Di indonesia sendiri, hak dalam berpendidikan secara tegas diatur dalam Undang-Undang 1945 yang menjadi pedoman aturan hukum pertama dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR Tahun 2000 No. III/MPR/2000. Pasal mengenai hak warga negara atas pendidikan tertuang dalam UU Pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa  "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Kemudian dipertegas dalam Bab IV "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu".

Pendidikan tidak disediakan hanya untuk anak dari golongan tertentu, tidak untuk anak yang memiliki kekayaan yang lebih dari teman-temannya, ataupun juga anak yang paling pintar. Pendidikan harus memberikan kesempatan kepada siapapun yang ingin belajar, bahkan jika itu adalah seorang menyandang cacat/ disabilitas sekalipun.

Tak hanya itu, pendidikan multikultural secara implisit dicantumkan dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan jelas tertulis bahwa "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif" dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.

Wacana mengenai pendidikan multikultural semakin marak diperbincangkan disetiap kalangan, ditengah banyaknya konflik-konflik yang terjadi akibat tidak adanya rasa penghargaan dalam perbedaan. Hal ini tentu saja menyebabkan limpungnya dunia pendidikan dimasa depan. Faktanya, hingga hari ini lingkungan Pendidikan kita tidak cukup berkualitas sebagai salah satu alat untuk intervensi, tidak mampu menanamkan nilai-nilai multikultural sehingga semakin rusaknya nilai persatuan bangsa akibat berbagai perpecahan.

Sudahkah sekolah menekankan pentingnya suatu perbedaan sebagai bentuk kekayaan dan keragaman, bukan sebagai suatu perbedaan yang harus diperdebatkan???? Sudahkah sistem pendidikan kita benar-benar tidak membedakan siswanya berdasarkan strata sosialnya, ras, agama, budaya, bahasa??

Pertautan antara pendidikan dengan multikultural tentu tidak bisa dihindarkan, secara realitas menunjukkan bahwa keadaan bangsa Indonesia yang memiliki begitu banyak kemajemukan tidak bisa disangkal oleh siapapun. Berbagai perbedaan dan keragaman di Indonesia menciptakan pola pikir, karakter serta pribadi yang terkadang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Segala konflik semacam ini tentu memerlukan suatu wawasan multikultural dalam memahami segala perbedaan antar individu sehingga tidak dengan mudah terjadi konflik-konflik dan perpecahan. Dan terus mengusahakan memanipulasi siswa agar memahami konsep multikultural atau perbedaan dan mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati tanpa ada sikap fanatisme dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kita menuliskan fakta, bahwa meskipun pendidikan dianggap sebagai faktor yang menentukan kesetaraan dalam mobilitas sosial masyarakat. Namun deskriminasi masih terus terjadi, diantaranya deskriminasi terhadap warga-warga papua yang melaksanakan pendidikannya diluar wilayahnya, dengan Ras Melanesia dengan ciri berkulit gelap, rambut ikal hingga keriting, bibir tebal dan postur tubuh tegap dan hidung lebar dianggap sebagai suatu hal yang aneh. Padahal, mereka adalah bagian dari bangs akita, dan mempunyai hak yang sama dalam menempuh pendidikan dimanapun mereka mau, dan memiliki kebebasan berinteraksi dengan berbagai jenis ras manusia Indonesia lainnya seperti ras mongoloid, kaukasoid dll.

Jenis deskriminasi lain yang masih diterima oleh pelajar Indonesia adalah deskriminasi berbasis bahasa. Bahwa pelajar dari daerah timur dengan logat dan gaya bahasa yang tidak sama dengan lainnnya. Merasa dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan bahasa Indonesia karena kurangnya dukungan dalam transisi bahasanya.

Fakta lain, adanya pengelompokan kelas bagi siswa yang berprestasi dan siswa yang kurang berprestasi, beberapa sekolah dengan sengaja mengelompokkan siswa kurang berprestasi bersama dengan siswa yang kurang berprestasi pula. Jika hal tersebut dilakukan maka bagaimana bisa siswa yang kurang berprestasi belajar dan meniru siswa yang berprestasi?? Padahal, pembelajaran terbaik adalah yang dilakukan dan dicontohkan oleh teman sebayanya dengan bantuan fasilitator yaitu guru dengan peer tutoring atau metode pembelajaran yang dilakukan antara siswa yang kurang mampu dalam pembelajaran dengan siswa yang dirasa cukup atau lebih mampu untuk membantu mengajarkan dengan bahasa yang mudah atau bahasa pertemanan.

Selanjutnya deskriminasi terhadap latar belakang siswa, guru terkadang bias dan latar belakang kepada siswa yang lebih kaya daripda siswa yang miskin. Padahal keduanya memiliki hak yang sama, sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline