Lihat ke Halaman Asli

[KCV] Bakso Bima

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1329190666369301807

Nomor Peserta: 211

Kolaborasi : Andi P. Rukka dan Eviwidi

Pak Pardi menyeka peluh di wajahnya yang mulai keriput. Hawa panas dari tungku memanggang tubuhnya yang ringkih. Beberapa saat lagi, lontong yang direbusnya akan matang dan itu berarti seluruh aktifitasnya seharian ini berakhir dan dia bisa beristirahat. Angin malam yang dingin menerobos kisi-kisi dinding dapur yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Membuat api yang menyala di tungku meliuk-liuk kesana-kemari.

Lewat cahaya pudar yang dipancarkan sebuah bohlam 5 watt, matanya yang cekung menangkap sosok Bima, anaknya yang meringkuk di atas sebuah dipan. Selembar sarung lusuh bermotif kotak-kotak menutupi tubuh kecil anak itu. Ada dengkur halus yang sesekali terdengar, meningkahi deru air mendidih di dalam panci besar yang sementara menggelegak. Pada usianya yang kini sudah mendekati angka tiga belas tahun, anak itu sudah sangat berguna membantu mengelola warung baksonya.

Setiap hari sepulang dari sekolah, Bima ke pasar membeli beberapa kilogram daging dan tepung kanji. Selanjutnya daging bersama tepung dia giling di tempat penggilingan milik Pak Rebo. Jika Bima pulang, anak itu akan mencampur adonan daging dan tepung kanji itu dengan bumbu rempah yang dia siapkan di sela-sela kegiatannya melayani pelanggan yang datang.

Campuran adonan yang sudah diberi bumbu itu kemudian dibentuknya menjadi bola-bola bakso berbagai macam ukuran. Ada yang hanya sebesar biji kelereng, ada yang sebesar bola pingpong dan ada pula yang bahkan sebesar bola tenis. Yang sebesar bola pingpong diisi dengan potongan telur rebus. Sedangkan yang sebesar bola tennis, diisi sebutir telur sekaligus.

Bola-bola bakso itu lalu direbusnya hingga matang. Anak itupun sudah paham benar, jika bola-bola bakso itu sudah mengapung di permukaan air mendidih, maka itu tandanya bakso itu sudah matang. Dengan peralatan sederhana, bakso itu diangkat lalu ditiriskan di sebuah wadah plastik. Ia sudah tidak perlu lagi memberi instruksi. Anak itu sudah mengerti tugasnya. Dan sejauh ini, ia puas dengan pekerjaan sang anak.

Sebelum Bima bisa membantunya seperti sekarang, dia sendirilah yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan itu. Kematian istrinya delapan tahun lalu tidak saja membuatnya kehilangan belahan jiwa dan pendamping hidup. Tapi ia juga kehilangan rekan kerja dan teman seperjuangan yang gigih. Usaha yang baru berkembang itu terantuk dan nyaris lumpuh. Hanya karena ia harus membesarkan anaknya, maka warung itu bisa tetap bertahan dan kembali menemukan gairahnya berkat anak itu.

Warung bakso yang diberi nama “Bakso Bima” itu terletak di salah satu sudut perempatan jalan, tempat para tukang ojek dan pengemudi angkutan pedesaan mangkal. Sebenarnya dia bukan satu-satunya penjual bakso yang ada di desa itu. Ada beberapa warung yang juga menjajakan makanan serupa, termasuk beberapa pedagang yang berkeliling menggunakan gerobak dorong. Tapi untuk ukuran desa itu, warung baksonyalah yang jadi bintang. Konon karena rasanya enak, dan punya cita rasa yang khas. Memang, saat merintis warung itu bersama mendiang istrinya dengan modal pas-pasan, ia bertekad bahwa harus ada sesuatu yang istimewa, yang membuat pelanggan bisa menggemari jualannya.

Lontong yang direbusnya matang sudah. Dengan penjepit yang terbuat dari bambu, satu demi satu lontong itu diangkat dan ditempatkan di sebuah nampan. Api tungku dipadamkan dengan percikan air. Ia bersihkan wajah dan tangannya, lalu ia merangkak naik ke atas dipan di samping anaknya. Bersiap untuk tidur, merajut mimpi masa depan.

***

Hidup sederhana, berjuang untuk membiayai pendidikan Bima dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka, membuat Pak Pardi tidak memiliki waktu untuk sekadar menonton televisi. Sisa waktunya lebih banyak dihabiskan untuk istirahat maupun beribadah di mushola usai berjualan. Beberapa hari terakhir warung baksonya sepi. Pelanggannya menyusut. Jika biasanya dalam 1 hari ia bisa menjual lebih dari 100 mangkok, maka dalam 3 hari terakhir ini 25 mangkok adalah angka penjualan tertingginya.

Perubahan drastis ini pada awalnya diyakini oleh Pak Pardi sebagai hal yang lumrah. Namanya juga berdagang, kadang sepi kadang laris. Tapi setelah 3 hari berturut-turut dagangannya nyaris tidak laku, membuat Pak Pardi akhirnya mulai resah, dan ingin berdiskusi dengan anak semata wayangnya tentang kondisi warungnya tersebut. “Bima…, sudah selesai belajar kamu nak?” Pak Pardi membuka pembicaraan ketika malam beranjak naik. Bima, anaknya, menoleh sambil tersenyum sembari membereskan buku-buku pelajaran yang berserak di atas dipan.

“Sudah Pak, ini sudah akan saya bereskan..ada apa Pak?, Bapak kelihatan muram sekali hari ini”.

“Iya, nak, entahlah beberapa hari terakhir ini, warung kita sepi sekali, kenapa ya? Padahal Bapak tidak mengurangi porsi maupun bumbunya”.

“Itulah Pak, dalam beberapa hari terakhir ini, memang sedang ada berita heboh Pak, terutama Bakso”.

“Berita soal apa itu Bim? Bapak tidak pernah baca Koran atau nonton tv, di pasar juga tidak ada orang bicara soal bakso bapak”.

“Begini Pak, sebenarnya ini kasus lama, kata guru saya, itu sudah pernah heboh sebelum sekarang, soal bakso yang dicampuri boraks, tapi sekarang jadi heboh lagi setelah ada tayangan di tv Pak..”

“Jadi ceritanya, orang-orang sekarang pada takut beli bakso karena mengira bakso bapak juga mengandung boraks, begitu maksudnya?”

“Iya, begitulah Pak..”

“Owalah…orang-orang itu kok percaya mentah-mentah ya..berita di tv, menerima berita itu jangan seperti makan timun, yang langsung dimakan mentah, tapi dilihat dulu dan dipastikan dulu kebenarannya, jangan main pukul rata.. kamu juga harus begitu Bima, jangan mudah terhasut dan mudah percaya ya…”

“Iya, Pak… tentu, saya paham dan mengerti maksud Bapak.., tapi bagaimana dengan warung kita ya Pak..?”

“Nah, itulah nak, Bapak juga masih mikirin, bagaimana nasib warung kita ini.., sudah makan dulu sana, nanti kita cari ide masing-masing ya.. siapa tahu bisa jadi jalan keluar..”.

“Siap pak..” Bima meloncat dari dipan, dan bersiap makan malam. Malam ini Pak Pardi menutup warung lebih cepat dari hari-hari biasanya. Malam semakin larut, suara jangkrik mulai bersahut-sahutan dari pekarangan.

***

Ibu-ibu dan Bapak-bapak dari RT tempat tinggal Pak Pardi, sudah berkumpul di ruang serba guna milik desa setempat yang dikelola dan dirawat oleh ketua RT yang sedang menjabat. Sebuah tempat yang biasa digunakan untuk pertemuan maupun jika ada penyuluhan selain balai desa oleh RT di wilayah itu. Tidak terlalu luas ruangannya, tapi ada halaman yang cukup luas yang cukup menampung beberapa puluh orang. Hari ini, atas seijin pak RT dan RW, Pak Pardi akan melakukan demo masak bakso dan yang hadir boleh mencicipi bakso Pak Pardi yang sebenarnya sudah cukup terkenal enaknya di kampung itu. “Terima kasih bapak-bapak dan Ibu-ibu, mau meluangkan waktunya di hari Minggu ini, saya hari ini bermaksud untuk melakukan demo masak bakso bersama anak saya Bima.” Pak Pardi membuka acara pagi itu dengan senyum dan penuh semangat.

“Kami ingin membuktikan, bahwa bakso kami tidak mengandung boraks maupun bahan pengawet lainnya.” Bima menambahkan dengan penuh semangat juga.

“Kami juga mengundang Pak Rebo, yang biasa membantu kami menggiling daging di pasar, dan beliau juga membawa alat gilingnya, mudah-mudahan dengan demo ini, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tidak lagi takut membeli bakso di warung kami” Kemudian setelah selesai membuka acara, Pak Pardi dan Bima juga Pak Rebo mulai melakukan demo membuat bakso. Bima membacakan resepnya dengan pengeras suara, Pak Pardi dan Pak Rebo mulai membuat bakso disaksikan warga sekitar yang mulai berkerumum. Kurang lebih 1 jam berselang, bakso Pak Pardi sudah selesai dan tinggal menunggu matang. Warga sebagian masih berkumpul dan sebagian lagi meninggalkan tempat. Yang masih bertahan akhirnya bisa menikmati bakso yang sudah matang.

Hari berganti, dan warung Pak Pardi akhirnya kembali ramai. Bima tersenyum ketika pulang sekolah menuju warungnya.

“Ternyata ide kamu membuat demo masak berhasil juga ya nak..hehe..” Pak Pardi tersenyum sambil mengusap kepala anaknya.

“Iya pak, Alhamdullilah… saya dapat ide dari tv juga sih.. waktu lihat tayangan acara masak-memasak.. saya pikir kalau masyarakat sini sepertinya akan lebih percaya kalau dilakukan demo…haha..”

“Alhamdullilah… kalau warungnya ramai, ayah bisa menyekolahkan kamu setinggi-tingginya, biar kamu jadi orang pinter... bapak sayang sama kamu nak..”. Pak Pardi memandang penuh kasih pada anaknya.

Bima tidak menjawab. Ia hanya memandang wajah ayahnya. Lalu menghambur ke dalam pelukannya.

***

END

Untuk Membaca karya peserta lain, silakan menuju akun Cinta Fiksi

Inilah Perhelatan dan Hasil Karya Peserta Event Kolaborasi Cerpen Valentine Silakan Bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline