Lihat ke Halaman Asli

Merayakan Kesederhanaan

Diperbarui: 1 Januari 2018   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: www.neeranjali.com

Bagi saya, tempe goreng plus sayur bening buatan ibu saya jauh lebih enak dibanding sajian di resto bintang lima di puncak bukit. Ada balutan kasih sayang dari masakan ibu yang membuat endorfin bersirkulasi dalam aliran darah saya lebih masif dibanding makan makanan 'elit'-yang harganya mahal dan seringkali porsinya sedikit, hehe. Tapi mungkin tidak demikian jika saya tidak pernah merasakan merantau dan jauh dari keluarga.

Di pantai merindukan gunung, di gunung merindukan pantai.

Kita selalu menginginkan apa yang belum kita miliki. Jika sudah dimiliki, lama-lama bosan, lalu menginginkan yang lain. Dulu, waktu saya masih tinggal bersama keluarga, rasanya ingin sekali pergi merantau dan merasakan asiknya petualangan di tanah orang. Kini, setelah bertahun-tahun jauh dari keluarga, saya sangat merindukan rumah. Merindukan hal-hal sederhana seperti pulang disambut senyuman ibu, duduk di meja makan bersama keluarga, hingga masakan sesederhana sayur bening dan tempe. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan, mungkin tidak demikian jika saya tidak pernah merasakan merantau dan jauh dari keluarga.

Manusia memiliki sifat dasar yang cenderung tidak menyukai stagnansi. Sebagai contoh dalam analisis teori perilaku saat melakukan keputusan bisnis, dikatakan bahwa manusia cenderung mengambil keputusan bisnis yang berisiko dan irasional, apabila ia sedang berada dalam kondisi 'too much certainty'  semata-mata karena ia ingin melihat reaksi atau akibat dari keputusan yang dibuatnya; karena bosan.

Kita selalu menginginkan hal-hal baru, hal-hal yang belum dimiliki, yang menarik, dan kita pikir akan membahagiakan.

Rumput tetangga selalu lebih hijau, belum ditambah benalu bernama keinginan tak berkesudahan. Susah sekali menyederhanakan hidup jika kita terus melihat orang lain, apalagi para 'social climber' yang bertebaran di media sosial. Tidak usah mengejar gunung bila sedang di pantai, lalu mengejar pantai saat berada di gunung. Nikmati saja di mana kita berada.

Relatifnya definisi bahagia.

"Saya akan bahagia jika saya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri". Lalu ketika sudah bekerja dengan penghasilan sendiri, entah mengapa pengeluaran juga semakin besar dan rekening tagihan dimana-mana, waktu terasa begitu sempit dan sibuk, pekerjaan pun menjadi tidak menggairahkan lagi. Lalu dimana kebahagiaan?

"Saya akan bahagia ketika sudah menikah dengan orang yang saya cintai". Lalu ketika sudah menikah, segudang problema baru muncul, masalah beli rumah, beli keperluan rumah tangga, cekcok dengan mertua, cekcok dengan pasangan. Lalu dimana kebahagiaan?

"Saya akan bahagia ketika sudah pensiun dan bisa menikmati hidup saya dengan tenang". Lalu ketika sudah pensiun, anak-anak sudah sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak memiliki waktu untuk kita, dan penyakit mulai menggerogoti tubuh renta kita, tidak menutup kemungkinan kita hanya akan terbaring di tempat tidur. Lalu dimana kebahagiaan?

Kita selalu berkejar-kerjaran dengan makhluk bernama bahagia. Dia selalu ada di depan, di masa depan. Kata 'bahagia' seringkali kita sandingkan dengan kata 'jika' dan 'bila'. Mungkin anak kecil yang tidak punya apa-apa jauh lebih bahagia dari kita. Mereka yang hidup dengan rumah kayu dan keluarga kecilnya, mungkin lebih bahagia dibanding mereka yang tinggal di istana porselen, namun keluarga saling berjauhan satu sama lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline